Sabtu, 29 Juli 2017

ASESOR

KOMPETENSI ASESOR YANG HARUS DIMILIKI 1. Kompetensi Akademik 2. Kompetensi Sosial 3. Kompetensi Kepribadian 4. Komptensi TIK Dalam melaksanakan tugas visitasi, ditemukan banyak permasalahan dilapangan antara tuntutan instrument akreditasi dengan kondisi riil disekolah yang dirasa tidak adil dalam memberikan skor penilaian.Hal ini terjadi bagi sekolah swasta yang memiliki tatakelola yang mengacu pada UU yayasan.Pastinya berbeda bagi sekolah negeri.Misalnya masalah tata kelola keuangan. Sering terjadi dilapangan ada upaya mensulap keterbatasan sarana dengan sekedar ada saja untuk bisa mendapatkan poin walaupun jauh dari ketentuan standar nasional yang ditetapkan. Begitu juga mensulap standar proses dan standar isi dengan lebih banyak meminjam di sekolah lain untuk copy paste dengan sedikit mengganti identitas. Persoalannya bagi asesor, mereka tidak boleh mendebat keberadaannya dan tidak juga untuk melakukan investigasi tentang pembuktian keabsahan dokumen kecuali hanya memvisitasi. Ada upaya sekolah/madrasah untuk mengulur waktu visitasi dengan mengawali prosesi akreditasi melalui acara-acara penyambutan yang berlebihan.Dengan harapan waktu pelaksanaan visitasi menjadi singkat yang artinya tidak banyak waktu untuk mengkaji dan mendalami dokumen yang ditunjukkan. Keterbatasan asesor dalam penguasaan ICT, menjadi persoalan tersendiri untuk melakukan tugas pelaporan melalui on line.Hal ini berdampak pada terlambatnya pelaporan dan bisa juga kesalahan dalam menginput (human error). Disamping itu bagi asesor yang sudah memasuki masa pensiun jika tidak melakukan pengembangan diri, dirasakan kurangup date dalam tugas visitasi. Sehingga pemberian skor sering merugikan pihak sekolah. Pelanggaran kode etik dan rambu-rambu yang diberikan pada asesor, masih terjadi.Masalahnya adalah belum ada sangsi tegas yang dijatuhkan untuk memberi efek jera dan juga menjadi peringatan bagi asesor lainnya. Kode Etik menyatakan bahwa Asesor adalah insan terpilih yang terdidik, terlatih, dan terkondisikan untuk senantiasa: 1. Menjunjung tinggi kejujuran dan obyektifitas, baik dalam niat, ucapan, maupun perbuatan; 2. Merahasiakan informasi tentang sekolah/madrasah yang diakreditasi; 3. Bersikap dan bertindak adil yang berarti tidak membedakan antara sekolah atau madrasah, negeri atau swasta, jauh dan dekat, dan status awal akreditasi; 4. Menjaga kehormatan diri, rendah hati, dan lugas dalam berkata, bersikap, dan bertindak; 5. Mematuhi aturan yang berlaku bagi asesor, dan bersedia menerima konsekwensi atas pelanggaran yang dilakukan; 6. menciptakan suasana kondusif dan tidak menekan dalam melakukan kegiatan visitasi; 7. menghindari kesepakatan atau bargaining dalam arti negatif, dengan tidak menerima pemberian uang, barang, dan jasa di luar hak-nya sebagai asesor; 8. bersahabat dan membantu secara profesional; 9. menghormati budaya setempat; 10. membangun kerjasama tim asesor; 11. tidak menggurui responden; 12. tidak mendebat argumentasi yang disampaikan oleh responden; dan 13. tidak menanyakan atau meminta hal-hal di luar akreditasi. Larangan bagi asesor: 1. Melakukan intimidasi secara terang-terangan maupun tersirat kepada sekolah/ madrasah. Hal ini penting untuk mencegah sekolah/madrasah dari keinginan untuk memberikan sesuatu dalam bentuk apa pun yang diduga akan berpengaruh kepada objektivitas hasil visitasi. 2. Membuat perjanjian dan/atau kesepakatan sepihak atau bersama-sama dengan sekolah/madrasah yang divisitasi yang dapat mengakibatkan tidak objektifnya hasil visitasi. 3. Menerima apa pun dari sekolah/madrasah yang akan mempengaruhi hasil akreditasi. 4. Membuka kerahasiaan data dan informasi yang diperoleh, serta hasil pelaksanaan visitasi kepada sekolah/madrasah dan pihak lainnya dengan alasan apa pun Larangan bagi sekolah/madrasah: 1. Melakukan berbagai kegiatan yang dapat menghambat proses visitasi dengan alasan apa pun. 2. Memanipulasi data dan informasi serta memberikan keterangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kondisi nyata sekolah/madrasah yang menyebabkan tidak objektifnya hasil akreditasi. 3. Memberikan sesuatu dalam bentuk apa pun kepada asesor maupun anggota BAP-S/M secara individual atau tim yang akan berdampak pada objektivitas hasil akreditasi.

Kamis, 16 Februari 2017

SKI KELAS 8

Hassan al-Mustadi Ibn Yusuf al-Mustanjid (1142 – 30 March 1180) (Arabic: المستضيء بأمر الله‎‎) was the Abbasid Caliph in Baghdad from 1170 to 1180. Like his predecessor, he continued to occupy a more or less independent position, with a vizier and courtly surroundings, and supported by only a small force sufficient for an occasional local campaign. During his reign, Saladin ended the Fatimid caliphate, became the Sultan of Egypt and declared his allegiance to the Abbasids. Sultan Alp Arslan (1063 - 1072) Dinasti Seljuk (Sultan Alslansyah) Pada tahun 1063, Tugril Beq wafat dan tidak memiliki keturunan laki-laki. Akhirnya keponakan tertuanya, Alp Arslan (1029 - 1072) naik tahta sebagai Sultan. Selama masa pemerintahannya, Alp Arslan berhasil mengatasi perlawanan dari saudara-saudaranya dan menyelesaikan konflik internal yang ada. Dalam memerintah, ia didampingi seorang perdana menteri bernama Nizham Al-Mulk. Nizham juga mendampingi putra Alp Arslan, Maliksyah, yang naik tahta kemudian sepeninggal Alp Arslan pada tahun 1072 dan memerintah 20 tahun berikutnya. Nama lengkap Al-Muhtadi (869-870 M) adalah Abu Ishaq Muhammad bin Al-Watsiq bin Al-Mu'tashim bin Harun Ar-Rasyid. Ia dilahirkan pada 219 H. Ada yang mengatakan 215 H. Dia dikenal dengan sebutan Abu Abdillah. Ia adalah putra Khalifah Al-Watsiq. Khalifah Al-Muhtadi termasuk khalifah yang sangat teguh memegang prinsip. Perilakunya baik, murah hati, dermawan, wara', gemar beribadah, dan zuhud terhadap kesenangan dunia. Joesoef Sou'yb dalam Sejarah Daulah Abbasiyah memaparkan ciri khalifah ini dengan kata-kata, "Ia bukan seorang militer akan tetapi seorang ulama yang menyerahkan hidupnya untuk kepentingan agama. Dan sikap hidupnya taat dan wara'." Setelah kejadian tersebut, Khalifah Al-Mu'taz segera mengangkat tangan Al-Muhtadi untuk membaiatnya sebagai khalifah, kemudian orang-orang pun mengikuti langkahnya untuk membaiat Al-Muhtadi. Setelah itu ia dibaiat secara khusus oleh Ahlul Halli wal Aqdi dan dibaiat secara massal di atas mimbar oleh rakyat. Khalifah Al-Muhtadi wafat pada Senin, 14 Rajab 257 H. Ia hanya memerintah setahun kurang lima hari. Ja'far bin Abdul Malik ikut menshalatkan dan menguburkannya dekat makam Al-Muntashir bin Al-Mutawakkil. Dinasti Ayubiyyah didirikan oleh Salahuddin Al-Ayubbi yang bersama Shirkuh menaklukan Mesir untuk Raja Zengiyyah Nuruddin dari Damaskus pada 1169. Nama ini berasal dari ayah Salahuddin, Najm ad-Din Ayyub. Pada tahun 1171, Salahuddin menggulingkan Khalifah Fatimiyyah terakhir. Ketika Nur ad-Din meninggal pada 1174, Ayyubiyyah atau Dinasti Ayyubiyyah (Sultan Shalahuddin al-Ayyubi) adalah dinasti Muslim dari bangsa Kurdi[2] yang menguasai Mesir, Suriah, Yaman (kecuali Pegunungan Utara), Diyar Bakr, Makkah, Hijaz dan Irak utara pada abad ke-12 dan 13. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169, Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir (konselor).Ayyubiyyah juga dikenali sebagai Ayyubid, Ayoubites, Ayyoubites, Ayoubides atau Ayyoubides. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud.

Rabu, 04 Januari 2017

HIZBIYYAH BUKAN HIZBULLAH

DEFINISI HIZBIYYAH Al-Hizbu secara bahasa adalah kelompok atau kumpulan manusia. (Al-Qomus Al-Muhith, Fairuz Abadi hal. 94). Dia berkata dalam Bashoir Dzawi Tamyiz 2/457: “Bashirotun fi Hizbi adalah kumpulan yang di dalamnya ada permusuhan”.Dan dikatakan bahwa Al-Hizbu adalah kelompok-kelompok yang berkumpul untuk memerangi para Nabi. Dan firman Allah Ta’ala: فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ “Maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. [al-Maidah/5:56] Sedangkan firman Allah Ta’ala: وَقَالَ الَّذِي آمَنَ يَا قَوْمِ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ يَوْمِ الْأَحْزَابِ “Dan orang-orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu”[al-Mukmin/40 :30] Al-Ahzab disini adalah kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang yang dihancurkan Allah setelah mereka [1]. Berkata Syaikh Ustadz Shofiyur Rohman Mubarokfuri : “Al-Hizbu secara bahasa adalah sekelompok manusia yang berkumpul karena kesamaan sifat, keuntungan atauikatan keyakinan dan iman. Karena kukufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Terikatoleh daerah, tanah air, suku bangsa, bahasa, nasab, profesi atau perkara-perkara yang semisalnya, yang biasanya menyebabkan manusia berkumpul atau berkelompok”.[2] Sedangkan dalam Al-Qur’an, lafadz hizbi mengandung beberapa makna: 1. Bermakna kumpulan orang yang masing-masing berbeda mahzab, ajaran dan alirannya. كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. [ar-Ruum/30 : 32] 2. Bermakna laskar syaitan: أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ “Mereka itulah adalah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongansyaitan itulah golongan yang merugi” [al-Mujadilah/58 : 19] 3. Bermakna tentara Ar-Rohman: أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung” [al-Mujadilah/58 : 22] Tidak samar lagi bagi siapapun yang memiliki pengetahuan bahwa masing-masing hizbi memiliki dasar-dasar dan pemikiran atau aturan-aturan yang menjadi undang-undang bagi hizbi tersebut, sekalipun mereka tidak menamainya demikian. Dan undang-undang ini sama dengan azas yang menjadi sumber bagi aturan-aturan hizbi (kelompok) tersebut, dan dibangun diatasnya. Maka siapa saja yang mau mengakuinya dan menjadikannya sebagai dasar dalam beraktivitas, tergabunglah dia di dalam hizbi tersebut. Dia menjadi salah satu dari anggota-anggotanya,bahkan menjadi tokoh dari sekian tokoh-tokohnya. Sedang siapa saja yang tidak setuju, berarti bukan kelompok mereka. Jadi, undang-undang inilah yang menjadi dasar dalam wala’ (kasih sayang), bara’ (membenci/bermusuhan), dalam bersatu dan berpecah, memuji dan menghina…[3] Dari sini kita pahami bahwa di dunia ini hanya ada dua hizbi (kelompok) : Hizbullah dan Hizbu Syaithan ; orang-orang yang beruntung dan orang-orang yang merugi ; Muslimin dan Kafirin,….Maka barangsiapa yang memasukkan kelompok-kelompok yang bermacam-macam di dalam Hizbullah ini, berarti dia telah berandil besar dalam memecah belah Hizbullah ini, memecah kalimat mereka yang satu. FENOMENA HIZBIYYAH Merupakan kewajiban setiap muslim untuk mencabut system hizbiyyah yang sempit dan dibenci, yang melemahkan Hizbullah. Dan tidak perlu memberikan secuil cinta pun terhadapnya, agar agama ini seluruhnya hanya untuk Allah. Adapun sekedar lari dari lafadz hizbi kepada nama-nama lain yang dirasa pantas dan lebih enak didengar adalah menjerumuskan diri ke dalam kebodohan. Sebab lafadz hizbi pada hakekatnya –baik secara bahasa ataupun secara syar’i- tidaklah tercela. Namun pada prakteknya, di balik lafadz ini hanyalah perselisihan, ikatan-ikatan yang tidak jelas, perpecahan dan sebagainya. Oleh karena itu merubah nama dengan hakekat yang semacam itu adalah perbuatan yang tidak pantas serta menipu orang lain dan diri sendiri. Karena nama tidak dapat merubah hakekat. Seseorang yang berwajah buruk tidak bisa menjadi bagus dan tampan hanya dengan kita beri nama Jamil, Hasan, atau Mas Bagus. Ini suatu misal. Demikian juga hizbiyyah (kelompok-kelompok) yang penuh dengan penyimpangan dari jalan agama yang lurus ini, baik dalam masalah i’tiqod, manhaj, mu’amalah dan lain-lain. Atau mengkonsumsi hasil pikiran sesat dari orang-orang yang kurang puas terhadap Sunnah Rosul dan manhaj salafi, menjadikan adat-istiadat –yang jelas-jelas mengotori agama ini- sebagai dasar gerakannya, juga tidak memiliki nyali untuk ingkarul mungkar karena takut miskin dan celaan manusia, menjadikan kebodohan dan prasangka sebagai dalil dalam dakwah dan sejenisnya, sekalipun diberi label atau nama : “Jama’atul Muslimin”, “JamaahTabligh”, “Islam Jamaah”, “Darul Hadist”, “Ikhwanul Muslimin”, “Darul Islam”, “Harokah Sunniyah”, “Salamullah” atau nama-nama antik dan indah lainnya, tidak akan secuilpun merubah hakekat sebenarnya. Perhatikan Hadist berikut: جَابِرًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ غَزَوْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ ثَابَ مَعَهُ نَاسٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ حَتَّى كَثُرُوا وَكَانَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلٌ لَعَّابٌ فَكَسَعَ أَنْصَارِيًّا فَغَضِبَ الْأَنْصَارِيُّ غَضَبًا شَدِيدًا حَتَّى تَدَاعَوْا وَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ يَا لَلْأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِيُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا بَالُ دَعْوَى أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ ثُمَّ قَالَ مَا شَأْنُهُمْ فَأُخْبِرَ بِكَسْعَةِ الْمُهَاجِرِيِّ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهَا فَإِنَّهَا خَبِيثَةٌ Dari Jabir bin Abdullah dia berkata : Kami berperang bersama Nabi dan sekelompok kaum Muhajirin berkumpul bersama beliau. Di antara kaum Muhajirin ada seorang yang suka bercanda sehingga memukul pantat orang Anshor. Maka sangat marahlah sahabat Anshor tersebut. Sehingga masing-masing kubu saling berseru. Orang Anshor tersebut berkata: “Wahai orang-orang Anshor,….”.Orang Muhajirin berkata: “Wahai orang-orang Muhajirin,…”.Mendengar hal tersebut Nabi keluar seraya berkata: “Ada apa dengan seruan Jahiliyyah itu?” Kemudian bertanya: “Apa yang terjadi kepada mereka?” Kemudian beliau dikabarkan bahwasannya ada seorang Muhajirin memukul pantat seorang Anshor. Selanjutnya Nabi bersabda ; “Tinggalkanlah, karena itu sangat buruk”.[HR. Bukhori : 3518, 4905, 4907]. Dua nama “Muhajirin” dan “Anshor” merupakan dua nama syar’i yang disebut dalam Al-Qur’an dan Sunnah, bernasab dengan keduanya adalah baik, bukan sekedar nisbah seperti bernasab kepada suku dan daerah asal. Dan juga bukan suatu yang makruh atau bahkan harom seperti bernasab kepada hal-hal yang mengarah kepada bid’ah dan maksiat. Tapi nama syar’i yang baik ini tidak bisa membuat hakekat-hakekat yang buruk (hizbiyyah) menjadi baik. Bahkan karena hakekat ini Rasul mengingkarinya dengan menyatakan sebagai panggilan Jahiliyyah. Karena sekedar mendakwahkan nasab atau menyatakan adanya hubungan dengan sesuatu, semisal manhaj, atau nama-nama baik yang syar’i tidaklah cukup, bahkan bisa jadi bertepuk sebelah tangan jika hakekatnya tidak seperti namanya. Penyair arab berkata: “Setiap Orang mengaku punya hubungan dengan Laila, padahal Laila tidak mengakuinya”. Kalau demikian, perbedaan keyakinan atau perkara-perkara pokok yang lain tidak bisa dijadikan dalil untuk bolehnya berkelompok-kelompok sesuai dengan keyakinanmasing-masing. HIZBIYYAH PEMECAH BELAH UMAT Kita bisa saksikan masih banyak orang-orang yang kurang berfungsi atau memang sudah tidak berfungsi mata, telinga dan hatinya. Sehingga berceloteh dengan menyebarkan hadits yang tidak ada asalnya untuk melegitimasi keinginannya. Perselisihan umatku merupakan rahmat. Mereka buta, tuli serta tidak bisa memahami nash-nash yang shohih dan gamblang seperti firman Allah Ta’ala: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا “Dan perpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai” [ali-Imron/3 : 103] Dan firman Allah Ta’ala: وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ “Dan Janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” [ali-Imron/3 :105] Dan firmanNya: وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴿٣١﴾مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” [ar-Rum : 31-32] Dan firmanNya: شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kam wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya” [as-Syuro : 13] Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، “Karena orang yang hidup di antara kalian sesudahku nanti, dia akan menyaksikan perselisihan yang sangat banyak sekali. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’ Rosyidin setelahku. Gigitlah sunnahku dengan gigi geraham [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi] Sabdanya pula: وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً؛ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ “Sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di neraka, dan satu di surga. Dialah Al-Jama’ah” [Lihatlah Shohihul Jami’ : 638] Dan hadist-hadist lain yang semisal. Demikianlah…..hizbiyyah menjadi sangat identik dengan perpecahan. Ibarat dua sahabat karib yang memiliki hubungan yang kokoh. Dimana ada hizbiyyah, disitu pula terletak perpecahan. Di mana terjadi perpecahan, di sana pula ditegakkan prinsip-prinsip hizbiyyah. Hal ini tidak samar lagi bagi ahli ilmu dan tholabul ilmi. Perhatikan kembali hadist diatas (tentang Muhajirin dan Anshor). Disitu Rasulullah telah memerangi benih-benih perpecahan dan hizbiyyah ketika beliau melihat gelagat akan tumbuhnya sifat-sifat hizbiyyah yang sangat erat dengan perpecahan. Padahal seruan yang mereka nasabkan adalah seruan yang terpuji lagi baik, yaitu seruan yang bernasab kepada Muhajirin dan Anshor. Bukankah Allah telah memuji mereka, Muhajirin dan Anshor? Perhatikan firman Allah berikut: وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” [at-Taubah/9 : 100] Ketika nama-nama yang mulia ini dijadikan seruan-seruan untuk menganggap dirinya lebih baik dari yang lain atau memenangkan/menolong seseorang karena dia termasuk kelompoknya, Rasulullah mengingkarinya dan menyebutnya sebagai seruan jahiliyyah. Dan semakna pula dengan seruan jahiliyyah ini adalah seruan atau bernasab kepada suatu qabilah, ta’asub (fanatik) kepada seseorang, kepada suatu mahzab atau kelompok, kepada syaikh, ‘alim dan ulama’, mengunggulkan sebagian atas sebagian yang lain sekedar berdasarkan hawa nafsu dan fanatik buta. Lalu membangun wala’ (cinta) dan permusuhan di atas sifat dan sikap yang semacam itu tadi dan mengukur manusia ini di atas neraca tersebut, maka semua ini adalah seruan dan sitem jahiliyyah. Kesimpulannya bahwa perpecahan dan perselisihan serta bentuk hizbiyyah, apapun jenis dan dasarnya, tidaklah selaras dengan tabiat Islam sama sekali. Dan bentuk hizbiyyah ini pasti hanya mendatangkan mudhorot dan kejelakan yang jauhlebih banyak dan berbahaya daripada manfaat dan kebaikannya kalaulah ada manfaat dan kebaikannya bagi kaum Muslimin. Dan agama kita pun telah melarang perpecahan dan perselisihan ini secara mutlak dan menjadikannya sebagai sebab kelemahan dan kehinaan kaummuslimin. وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ “Janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu” [al-Anfal/8 : 46] Allah tidak membatasi larangan perselisihan ini, bahkan memutlakkannya agar mencakup segala macamnya. Bahkan Allah tidak hanya sekedar melarang saja, tapi Allah mewajibkan kaum muslimin untuk bersungguh-sungguh dalam meraih kebenaran ketika terjadi perselisihan. Firman-Nya: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ “Hai orang-orang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)”. [an-Nisa’/4 : 59] Jadi perpecahan dan hizbiyyah ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Kita harus benar-benar memahami dan mengambil sikap yang benar. Sekalipun hal ini dianggap kecil dan remeh oleh semantara orang yang memandang. [4] Mudah-mudahan Allah mengokohkan langkah dan hati di atas jalan sunnah. [Dilsain dari Buletin Al-Furqon Edisi 10 Tahun 1, Diterbitkan Lajnah Da’wah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim 61153] _______ Footnote [1]. Lihat Lisanul ‘Arob:I/308-309. [2]. Al-Ahzab As-Siyasiyyah fil Islam,hal.7. [3]. Lihat Al-Ahzab As-Siyasiyyah fil Islam, hal.13 [4]. Lihat kitab Ad-Da’wah ila Allah, Syaikh Ali Hasan, hal. 53-74 Sumber: https://almanhaj.or.id/81-hizbiyyah-bukan-hizbullah.html

Kamis, 24 April 2014

JUAL BELI HARI JUM'AT

Persoalan jual beli yang terus berlangsung di kalangan pedagang dan pembeli pria setelah azan pada hari Jumat harus dipandang serius atau hal ini akan menjadi kebiasaan buruk bagi umat Islam . Ketika melihat pedagang ini berkemah di luar masjid , mengambil untung atas perkumpulan umat Islam yang ingin menunaikan shalat Jumat , sedang mereka menjadi penyebab perbuatan dosa bagi semua orang yang membeli dagangannya. Shalat Jum'at adalah wajib bagi pria yang sudah baligh dan tidak wajib bagi wanita . Adapun setiap transaksi di antara wanita dengan wanita setelah azan pertama atau kedua dikumandangkan pada hari Jumat adalah sah . Dalam hal ini tidak termasuk di dalam diskusi para ulama dan bukan pula fokus artikel ini . Ini adalah satu keharusan yang disepakati oleh keempat mazhab terbesar dalam Fiqh Islam . Demikian juga halnya bagi mereka yang tidak wajib shalat jum'at karena sebab lain seperti sakit , bepergian dan sebagainya . Diskusi hukum hanya berkisar kepada para pria , apakah pedagang pria , pembeli pria atau keduanya yang sehat , baligh dan tidak bepergian . Asas hukum adalah dari surah al - Jumat ayat 9 yang maksud - Nya : يا أيها الذين آمنوا إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع ذلكم خير لكم إن كنتم تعلمون Artinya : Hai orang - orang yang beriman , apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat , maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli . Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui . AZAN PERTAMA ATAU KEDUA ? Meskipun telah ijma ' [ 1 ] di kalangan ulama akan larangan jual beli berdasarkan ayat di atas , mereka berbeda ijtihad dalam menentukan larangan itu jatuh setelah azan pertama atau kedua . Perlu dipahami bahwa azan Jumat di zaman Nabi saw , Abu Bakar as - Siddiq ra dan Umar ra hanyalah sekali saja , yaitu di saat khatib ( imam ) naik ke atas mimbar untuk memulai khutbah . Di zaman pemerintahan Khalifah Utsman ra , jumlah umat Islam bertambah lalu diperkenalkan azan kedua dan seterusnya ketiga ( berfungsi sebagai iqamah ) . Namun , hasil dari keberadaan lebih dari satu azan setelah zaman Utsman , para ulama sekali lagi harus berijtihad dalam menentukan azan manakah yang harus tidak ada lagi jual beli berikutnya . Mazhab Maliki dan Hanbali jelas dan tegas bahwa larangan adalah setelah adzan kedua yaitu di saat khatib sudah naik ke atas mimbar , ia juga bertepatan dengan suasana di saat turunnya ayat Al - Quran , para masa hayatnya Nabi saw [ 2 ] Imam At - Tohawi Al - Hanafi menegaskan : - المعتبر الأذان عند المنبر بعد خروج الإمام , فإنه هو الأصل الذي كان للجمعة على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم Artinya : Azan yang berlaku ( dalam hal ini ) adalah yang ketika keluar imam di atas mimbar , maka itulah yang asli sebagaimana Jumat di zaman baginda Nabi saw ( Mukhtasar at - Tohawi , hlm 24 ) Namun demikian , ulama mazhab Hanafi terlihat memiliki beberapa pandangan dengan mayoritas di antara mereka berijtihad azan kedua adalah ' pasti haram ' , cuma ada sebagian besar mereka yang juga berpendapat larangan dimulai sejak dari azan pertama ( azan masuk waktu ) lagi atau setelah tergelincirnya matahari pada hari tersebut . [ 3 ] ini berarti , mazhab Hanafi lebih tegas dalam hal ini dan disepakati oleh keempat mazhab , berjual beli setelah adzan kedua adalah haram . Imam Ibn Kathir Al - Syafi'i menyebutkan : اتفق العلماء على تحريم البيع بعد النداء الثاني Artinya : Para ulama bersepakat mengenai larangan jual beli setelah adzan kedua ( Tafsir Ibn Kathir , 4 / 367 ) BERDOSA SAJA ATAU aqad JUGA BATAL ? Meskipun berjualbeli di waktu itu adalah ilegal yang berarti berdosa atas si penjual dan pembeli , namun apakah aqad jual beli mereka batal ? Jika kesalahan ini dilakukan , dosa yang ditanggung adalah satu tingkat , sementara sah batal transaksi itu pula adalah satu tingkat yang lain . Jika aqad tidak sah , berarti kepemilikan harga yang diperoleh oleh penjual adalah batal dan demikian juga kepemilikan pembeli ke atas barang beliannya . Jika itu terjadi , berarti kedua mereka menggunakan harta milik orang lain dan berkelanjutan kondisi itu sampai akhir hayat mereka dalam kondisi penuh syubhat dan bermasalah . Dalam hal ini , para ulama tidak sepakat dalam menanggapi keabsahan atau terbatalnya aqad . Para Ulama dibagi menjadi dua kelompok : Pertama : Aqad adalah sah dan hanya dosa ditanggung oleh penjual dan pembeli . Ini adalah ijtihad dari mazhab Hanafi , Syafi'i dan sebagian Maliki . Kedua : Aqad batal dan berdosa ; Ini adalah pendapat mazhab Hanbali dan mayoritas Maliki . Namun , berdasarkan penelitian , pendapat pertama adalah lebih kokoh , khususnya adalah rukun dan syarat jual beli telah semuanya terpenuhi , kecuali ia melanggar waktu penjualan yang diharamkan saja , atas kesalahn itu dosa saja ditanggung tanpa pembatalan aqad . Apapun , sangat perlu umat Islam di Malaysia dan dimana saja untuk lebih berhati - hati dalam hal ini . Justru , sangat dianjurkan agar dapat disarankan kepada para pedagang dan semua warga Muslim yang wajib ke atas shalat Jumat untuk menghindari kesalahan ini . Kita khawatir , karena ketidaktahuan , banyak yang melanggarnya secara berulang kali . KESIMPULAN Kesimpulan , jual beli itu akan jatuh ilegal hanya apabila : a ) Dilakukan setelah adzan kedua sewaktu imam berada di atas mimbar . b ) Dilakukan oleh pria ( apakah sebagai pedagang atau penjual ) yang wajib shalat Jumat . c ) Mengetahui mengenai hukum haram ini , dan wajiblah ke atas individu mukallaf untuk mempelajarinya . Wajib pula untuk menyampaikannya bagi yang mengetahui . Saya sangat berharap agar para khatib dapat mengingatkan hal ini setiap kali mereka berada di atas mimbar , juga diingatkan oleh para bilal sebelum mereka meneriakkan azan kedua . Dianjurkan pula bagi orang untuk mendistribusikan tulisan ini di masjid - masjid untuk menyadarkan masyarakat . Wallahu 'alam bishowab....

Selasa, 18 Oktober 2011

Pembelajaran Kontekstual




A. Model Pembelajaran Kontekstual
1. Pengertian Model Pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna, istilah-istilah tersebut adalah: a) model pembelajaran, b) strategi pembelajaran, c) metode pembelajaran; d) teknik pembelajaran; e). taktik pembelajaran; dan f) pendekatan pembelajaran.
“Model belajar mengajar adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melakukan aktivitas pembelajaran”. Kegiatan belajar yang telah dirancang dan dilaksanakan dengan penuh keahlian guru dapat menghasilkan suasana dan proses pembelajaran yang efektif.
“Pembelajaran adalah bimbingan kepada siswa yang mengalami proses belajar.” Sedangkan guru hanya membimbing, menunjukan jalan dengan memperhatikan kepribadian siswa. Kesempatan untuk berbuat dan aktif berpikir lebih banyak diberikan kepada siswa, daripada teori yang lain. Hal ini terjadi disekolah-sekolah.
“Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik dan mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melakukan aktivitas pembelajaran. Kedudukan dan fungsi pembelajaran yang strategis adanya kerangka konseptual yang mendasar. Dalam suatu model pembelajaran ditentukan bukan hanya apa yang harus dilakukan guru, akan tetapi menyangkut tahapan- tahapan, sistem sosial yang diharapkan, prinsip-prinsip reaksi guru dan siswa serta sistem penunjang yang diisyaratkan.

2. Peranan Model Pembelajaran
Kedudukan dan fungsi pembelajaran yang strategis adanya kerangka konseptual yang mendasar. Dalam suatu model pembelajaran ditentukan bukan hanya apa yang harus dilakukan guru, akan tetapi menyangkut tahapan-tahapan, sistem sosial yang diharapkan, prinsip-prinsip reaksi guru dan siswa serta sistem penunjang yang diisyaratkan.Untuk memperjelas uraian di atas, dapat dilihat pada gambar 4.









Gambar 4
Model Pembelajaran

Terjadinya proses pembelajaran, oleh siapapun proses itu diorganisasikan dan dikelola akan bertolak dari kerangka dasar tersebut. Artinya suatu model dalam proses pembelajaran sangatlah berperan penting untuk mencapai tujuan dari proses pembelajaran itu sendiri. Model pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran hendaknya ditujukan untuk meningkatkan sumber daya manusia yang bermanfaat dimasa yang akan datang dan dapat mencetak siswa yang berkualitas dengan memiliki keterampilan dan daya kreativitas yang tinggi.
Pembelajaran sebagai suatu sistem yang melibatkan komponen-komponen pembelajaran yang meliputi tujuan, subyek belajar, materi pelajaran, strategi pembelajaran, media pembelajaran, dan penunjang merupakan suatu kesatuan yang mempunyai hubungan fungsional dan berinteraksi secara dinamis untuk mencapai tujuan pembelajaran. “Pembelajaran merupakan salah satu wujud kegiatan pendidikan di sekolah. Kegiatan pendidikan di sekolah berfungsi membantu pertumbuhan dan perkembangan siswa agar tumbuh kearah positif”. Maka cara belajar subyek belajar di sekolah diarahkan dan tidak dibiarkan berlangsung sembarangan tanpa tujuan. Melalui sistem pembelajaran di sekolah, siswa melakukan kegiatan belajar dengan tujuan akan terjadi perubahan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
“Peristiwa pembelajaran adalah suatu kegiatan interaktif yang mengarah pada suatu kegiatan interaktif yang mengarah pada tercapainya tujuan pembelajaran.” Karena itulah diperlukan adanya strategi agar tujuan tersebut dapat tercapai dengan optimal. Strategi dapat dikatakan sebagai pola umum yang berisi tentang rentetan kegiatan yang dijadikan pedoman agar kompetensi sebagai tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Pola atau cara yang diterapkan sebagai hasil dari kajian strategi itu dalam proses pembelajaran dinamakan metode pembelajaran. Dengan demikian metode berangkat dari suatu strategi tertentu. Sedangkan cara untuk menjalankan metode yang diterapkan itu dinamakan teknik atau taktik, sifatnya lebih praktis yang disusun untuk menjalankan suatu metode dan strategi tertentu. Di samping istilah strategi, metode dan teknik dalam pembelajaran ada juga istilah lain yang dinamakan model pembelajaran.
Model pembelajaran dimaksudkan sebagai pola interaksi siswa dengan guru di dalam kelas yang menyangkut pendekatan, strategi, metode, teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas. Menurut Denne R dan Wraagg “...model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik dan mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melakukan aktivitas pembelajaran.”

3. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual merupakan model baru yang membawa siswa kepada dunia nyata dalam pembelajaran. Pembelajaran kontekstual berangkat dari pemahaman bahwa pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, namun pengetahuan itu harus dikonstruksi dan diberi makna melalui pengalaman.
Pembelajaran kontekstual berasal dari istilah contextual teaching and learning. Dalam bahasa latin kata con berarti (with) dan textum berarti (moment). Contextual yang berarti mengikuti keadaan, situasi dan kejadian, oleh karena itu kaidah contextual merupakan suatu yang dibentuk dengan dasar maksud dari pembelajaran itu sendiri yang relevan bagi siswa, dan memberi makna dalam kehidupan sehari-hari.
Zahorik menyatakan bahwa elemen yang harus diperhatikan dalam praktik pembelajaran kontekstual adalah :
a. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (Activiting knowledge).
b. Penemuan pengatahuan baru (Acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dahulu, kemudian memperhatikan detailnya.
c. Pemahaman pengetahuan (Understanding knowledge) yang dengan cara menyusun konsep sementara hipotesis, melakukan sharing kepada orang lain atau teman agar mendapat tanggapan dan atas dasar tanggapan itu konsepnya direvisi dan dikembangkan.
d. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (Applaying knowledge).
e. Melakukan refleksi (reflection knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Dunne R & Wraag.T menjelaskan bahwa strategi belajar dalam kaitannya dengan penggunaan fakta dan keterampilan dalam pembelajaran, harus didemonstrasikan dalam konteks.
Penggunaan fakta dan keterampilan dalam pembelajaran dapat dilaksanakan disamping dengan mendemonstrasikan dalam konteksnya, tetapi juga sambil bekerja sendiri menemukan secara pribadi karena pada hakikatnya siswa itu pribadi yang tidak sama, sehingga dengan bekerja tersebut akan menemukan tentang jati dirinya atau kepribadiannya.
Secara psikologis Pestalozi dan kawan-kawanya yang dinyatakan juga oleh Faisal menyatakan bahwa: Penemuan cara belajar dan mengajar yang efektif dan efesien, sebagai titik tekan yang berhubungan dengan belajar anak, dimana anak adalah pribadi, bukan semuanya sama. Dalam proses pembelajaran anak belajar sambil bekerja (learning by doing).
Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan. Materi yang disampaikan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan implementasinya atau penerapannya dalam kehidupan mereka.
Sugandi mendefinisikan Pembelajaran kontekstual “....merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen efektif yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, dan penilaian sebenarnya.

Konteks artinya kondisi lingkungan, yaitu keadaan atau kejadian yang membentuk lingkungan dari sebuah hal. Ringkasnya konteks adalah lingkungan. Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen efektif yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, dan penilaian sebenarnya.
Blanchard, Berns dan Erckson, mengemukakan bahwa: “Contextual teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps teachers relate subject matter content to real world situation; and motivates students to make connections between knowledge and its applications to their lives as family members, citizens, and workers and engage in the hard work that learning requires”.

Dengan demikian pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan pekerja.
Pembelajaran kontekstual adalah proses pembelajaran yang menghubungkan isi pelajaran dengan lingkungan. Dalam pembelajaran tradisional isi dipelajari secara terpisah, tersendiri. Dalam pembelajaran kontekstual, isi pelajaran dihubungkan dengan lingkungan fisik, personal, sosial, dan budaya.
Pembelajaran Kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Kubi dalam Dody Hermana mendefinsikan “…kontekstual (contextual) yang berasal dari kata context berarti hubungan, konteks, (konteks) suasana dan keadaan ". Sehingga Contextuat Teaching Learning (CTL) pembelajaran yang dapat diartikan sebagai suatu berhubungan dengan suasana tertentu. Secara umum kontekstual berarti yang berkenaan, relevan, adanya hubungan atau keterkaitan langsung, atau yang bermakna.
Pembelajaran kontekstual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk menemukan materi yang dihubungkan dengan menerapkan dalam kehidupan mereka, pada kompetensi haji dan umroh dilaksanakan manasik haji.
“Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning ) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka sehari-hari”.
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
“Pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru mengadirkan situasi dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat”.
Model pembelajaran kontekstual menghadapkan siswa dengan dunia nyata (real world) di mana mereka berada. Sehingga materi-materi yang mereka pelajari bukan hanya menjadi bayangan dalam pikiran mereka. Siswa dalam kelas kontekstual akan mengalami sendiri kegiatan belajar dan kaitannya dengan apa yang mereka pelajari. Siswa diajak untuk berpikir, bukan sekedar menerima apa kata guru. Siswa menjadi subjek dalam kelas kontekstual, artinya pusat dari proses pembelajaran adalah siswa sehingga harus aktif, kritis dan kreatif menemukan sendiri pengetahuan dan pengalaman baru yang akan memberikan manfaat bagi mereka. Siswa duduk manis mendengarkan ceramah guru tidak berlaku dalam kelas kontekstual.
Model pembelajaran kontekstual memiliki karakteristik yang berbeda dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan lain. Dalam pembelajaran kontekstual ada kerjasama antar siswa, antara siswa dengan guru sebagai fasilitator dan motivator. Karakteristik yang kedua yaitu saling menunjang dalam kegiatan pembelajaran, menyenangkan dan tidak membosankan sehingga siswa lebih bergairah dalam belajar. Kelas kontekstual juga merupakan kelas yang terintegrasi, materi pembelajaran menggunakan berbagai sumber bukan satu sumber saja.
Ada kecenderungan dalam dunia pendidikan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak ”mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi ”mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali dan memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Ada sejumlah alasan mengapa pembelajaran kontekstual dikembangkan sekarang ini. Sejumlah alasan tersebut dikemukakan oleh Nurhadi & Agus Gerrad Senduk sebagai berikut:
a. “Penerapan konteks budaya dalam pengembangan silabus, penyusunan buku pedoman guru, dan buku tes akan mendorong sebagian besar siswa untuk tetap tertarik dan terlibat dalam kegiatan pendidikan, dapat meningkatkan kekuatan masyarakat memungkinkan banyak anggota masyarakat untuk mendiskusikan berbagai isu yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat .
b. Penerapan konteks personal, konteks ekonomi, konteks politik dapat meningkatkan ketrampilan komunikasi, kesejahteraan sosial, dan pemahaman siswa tentang berbagai isu yang dapat berpengaruh terhadap masyarakat, akan membantu lebih banyak siswa untuk secara penuh terlibat dalam kegiatan pendidikan dan masyarakat.”

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kontekstual pada dasarnya mudah, dan dapat disajikan pada materi apa saja. Maka pada intinya model pembelajaran kontekstual membawa siswa untuk aktif dan kreatif, sementara guru sebagai fasilitator dan pembimbing dalam pembelajaran, sehingga siswa dapat menemukan sendiri makna informasi yang diterima. Makna-makna itulah yang menjadi pengetahuan yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa pada saat itu dan dapat diterapkan dalam hubungan dengan sesama manusia atau masyarakat dan kebudayaannya.
Program pengembangan model pembelajaran universitas Geogia selama tiga tahun termasuk pengembangan model baru yang direvisi dari model yang lama, antara lain :
Pre-professional courses : Two existing required courses for teacher education in educational psikology (Learning dan Development in Education) and educational fondations (Social Foundation of Education) were revised to include contextual teaching and learning principles and aplications.
Community work experiences : Academic service learning on existing electif couse involving service projects in various community agencies was redesigned to include structured field projects in bussiness, government and other professional work settings.
Another existing elective couse. Internship in Bussines and industry, was offerd to students interested in compliting an extensive enternship in the private, corporate sector. In addition, students were involved in other classes or siminars with business of community short term intern ships, tours field trips, interviews, focus groups, and other non school contexts to help them connect knowledge with real-woeld applications.

Model pembelajaran kontekstual telah diuji cobakan di Universitas Georgia selama tiga tahun dan telah mengalami beberapa kali perbaikan dan penyempurnaan demi kelancaran model tersebut untuk dunia pembelajaran. Dua pelatihan yang telah direvisi yang berkaitan dengan aplikasi dan prinsip-prinsip dalam proses pembelajaran.
Pelatihan-pelatihan pada lembaga sekolah termasuk pada yayasan pendidikan yang didesain ulang untuk menangani bebarapa bidang baik proyek bisnis, pendidikan dan lainnya, yang ditawarkan kepada siswa-siswa yang tertarik pada sektor swasta, sehingga diharapkan siswa memperoleh pengetahuan dan pengalaman di dunia nyata. Tujuan utama program kontekstual agar mempunyai pengalaman di lapangan yang terkait dengan pendidikan.
Sehubungan dengan itu pembelajaran kontekstual diturunkan ke dalam beberapa strategi pembelajaran.
“Ditjen Dikdasmen mengelompokkan 7 strategi pembelajaran kontekstual, yaitu: (1) belajar berbasis masalah (problem-based learning), (2) pengajaran autentik (authentic instruction), (3) belajar berhasis inquiri (linquiry-based learning;), (4) belajar berbasis proyek/tugas terstruktur (project-based learning), (5) belajar berbasis kerja (work-based learning), (6) belajar jasa layanan (service learning), (7) belajar kooperatif (cooperative learning)”.

Hal ini sejalan dengan lima strategi yang dikemukakan Bern dan Erickson dalam Dharma Kesuma ada lima strategi pembelajaran, yaitu: “....(1) pernbeiajaran berbasis masalah (problem-based learning), (2) pembelajaran kooperatif (cooperative learning), (3) pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), (4) Pembelajaran pelayanan (service learning), dan (5) pembelajaran berbasis kerja (work-based learning)”.
Dari berbagai model pembelajaran kontekstual yang dikemukakan oleh Bern dan Erickson serta Depdiknas, maka peneliti merangkumnya ke dalam beberapa strategi pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran, yaitu pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran pelayanan, pembelajaran berbasis kerja, ditambah dengan pembelajaran nilai. Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu.

Rabu, 16 Juni 2010

DEMONSTRASI BUKAN METODE SALAFUS SHOLIH (Ustadz Zuhair Syarif )


Gejolak unjuk rasa atau demonstrasi yang saat ini sedang marak, mengundang komentar banyak pengamat. Sebagian mereka mengatakan : “Aksi unjuk rasa ini dipelopori oleh oknum-oknum tertentu.”

Adapula yang berkomentar : “Tidak mungkin adanya gejolak kesemangatan untuk aksi kecuali ada yang memicu atau ngompori.” Sedangkan yang lain berkata : “Demonstrasi ini adalah ungkapan hati nurani rakyat.”

Demikian komentar para pengamat tentang demonstrasi yang terjadi di hampir semua universitas di Indonesia. Sebagian mereka menentangnya dan menganggap para mahasiswa itu ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu. Sebagian lain justru mendukung mati-matian dan menganggapnya sebagai jihad.

Namun dalam tulisan ini kita tidak menilai mana pendapat pengamat yang benar dan mana yang salah. Tetapi kita berbicara dari sisi apakah demonstrasi ini bisa digunakan sebagai sarana/alat dakwah kepada pemerintah atau tidak? Atau apakah tindakan ini bisa dikatakan sebagai jihad[1]?

DEMONSTRASI PERTAMA DALAM SEJARAH ISLAM

Kasus terbunuhnya Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu dan timbulnya pemikiran Khawarij sangat erat hubungannya dengan demonstrasi. Kronologis kisah terbunuhnya Utsman radliyallahu 'anhu adalah berawal dari isu-isu tentang kejelekan Khalifah Utsman yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ di kalangan kaum Muslimin.

Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam[2]. Sedangkan kita telah maklum bagaimana karakter Yahudi itu karena Allah telah berfirman :

“Niscaya engkau akan dapati orang yang paling memusuhi (murka) kepada orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrikin.” (Al Maidah : 82)

Permusuhan kaum Yahudi terlihat sejak berkembangnya Islam, seperti mengkhianati janji mereka terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, merendahkan kaum Muslimin, mencerca ajaran Islam, dan banyak lagi (makar-makar busuk mereka). Setelah Islam kuat, tersingkirlah mereka dari Madinah. (Lihat Sirah Ibnu Hisyam juz 3 halaman 191 dan 199)

Pada zaman Abu Bakar dan Umar radliyallahu 'anhuma, suara orang-orang Yahudi nyaris hilang. Bahkan Umar mengusir mereka dari Jazirah Arab sebagai realisasi perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang pernah bersabda :

“Sungguh akan aku keluarkan orang-orang Yahudi dan Nashara dari Jazirah Arab sampai aku tidak sisakan padanya kecuali orang Muslim.” Juga Ucapan beliau : “Keluarkanlah orang-orang musyrikin dari Jazirah Arab.” (HR. Bukhari)

Di tahun-tahun terakhir kekhalifahan Utsman radliyallahu 'anhu di saat kondisi masyarakat mulai heterogen, banyak muallaf dan orang awam yang tidak mendalam keimanannya, mulailah orang-orang Yahudi mengambil kesempatan untuk mengobarkan fitnah.

Mereka berpenampilan sebagai Muslim dan di antara mereka adalah Abdullah bin Saba’ yang dijuluki Ibnu Sauda. Orang yang berasal dari Shan’a ini menebarkan benih-benih fitnah di kalangan kaum Muslimin agar mereka iri dan benci kepada Utsman radliyallahu 'anhu.

Sedangkan inti dari apa yang dia bawa adalah pemikiran-pemikiran pribadinya yang bernafaskan Yahudi. Contohnya adalah qiyas-nya yang bathil tentang kewalian Ali radliyallahu 'anhu. Dia berkata : “Sesungguhnya telah ada seribu Nabi dan setiap Nabi mempunyai wali. Sedangkan Ali walinya Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” Kemudian dia berkata lagi : “Muhammad adalah penutup para Nabi sedangkan Ali adalah penutup para wali.”

Tatkala tertanam pemikiran ini dalam jiwa para pengikutnya, mulailah dia menerapkan tujuan pokoknya yaitu melakukan pemberontakan terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu. Maka dia melontarkan pernyataan pada masyarakat yang bunyinya : “Siapa yang lebih dhalim daripada orang yang tidak pantas mendapatkan wasiat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (kewalian Rasul), kemudian dia melampaui wali Rasulullah (yaitu Ali) dan merampas urusan umat (pemerintahan)!” Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian (pemerintahan)!” Setelah itu dia berkata : “Sesungguhnya Utsman mengambil kewalian (pemerintahan) yang bukan haknya, sedang wali Rasulullah ini (Ali) ada (di kalangan kalian). Maka bangkitlah kalian dan bergeraklah. Mulailah untuk mencerca pejabat kalian tampakkan amar ma’ruf nahi munkar. Niscaya manusia serentak mendukung dan ajaklah mereka kepada perkara ini.” (Tarikh Ar Rasul juz 4 halaman 340 karya Ath Thabary melalui Mawaqif)

Amar ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah ini sama modelnya dengan amar ma’ruf menurut Khawarij yakni keluar dari pemerintahan dan memberontak, memperingatkan kesalahan aparat pemerintahan di atas mimbar-mimbar, forum-forum, dan demonstasi-demonstasi yang semua ini mengakibatkan timbulnya fitnah.

Masalah pun bukan semakin reda, bahkan tambah menyala-nyala. Fakta sejarah telah membuktikan hal ini. Amar ma’ruf nahi mungkar ala Saba’iyah dan Khawarij ini mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu, peperangan sesama kaum Muslimin, dan terbukanya pintu fitnah dari zaman Khalifah Utsman sampai zaman kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallahu 'anhu. (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati fil Fitnati min Riwayat Al Imam Ath Thabari wal Muhadditsin juz 2 halaman 342)

Sebenarnya amar ma’ruf nahi mungkar yang mereka gembar-gemborkan hanyalah sebagai label dan tameng belaka. Buktinya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda kepada Utsman :

“Hai Utsman, nanti sepeninggalku Allah akan memakaikan pakaian padamu. Jika orang-orang ingin mencelakakanmu pada waktu malam --dalam riwayat lain :-- Orang-orang munafik ingin melepaskannya, maka jangan engkau lepaskan. Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya juz 6 halaman 75 dan At Tirmidzi dalam Sunan-nya dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi 3/210 nomor 2923)

Syaikh Muhammad Amhazurn berkomentar : “Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa orang Khawarij tidaklah menuntut keadilan dan kebenaran akan tetapi mereka adalah kaum yang dihinggapi penyakit nifaq sehingga mereka bersembunyi dibalik tabir syiar perdamaian dan amar ma’ruf nahi mungkar.

Tidak diketahui di satu jamanpun adanya suatu jamaah atau kelompok yang lebih berbahaya bagi agama Islam dan kaum Muslimin daripada orang-orang munafik.” (Tahqiq Mawaqif Ash Shahabati juz 1 halaman 476)

Inilah hakikat amar ma’ruf nahi mungkar kaum Saba’iyah dan Khawarij. Alangkah serupanya kejadian dulu dan sekarang?!

Di jaman ini ternyata ada Khawarij Gaya Baru yaitu orang-orang yang mempunyai pemikiran Khawarij. Mereka menjadikan demonstrasi, unjuk rasa, dan sebagainya sebagai alat dan metode dakwah serta jihad. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Abdurrahman Abdul Khaliq yang mengatakan (Al Fushul minas Siyasah Asy Syar’iyyah halaman 31-32) : “Termasuk metode atau cara Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam berdakwah adalah demonstrasi atau unjuk rasa.”

Sebelum kita membongkar kebathilan ucapan ini dan kesesatan manhaj Khawarij dalam beramar ma’ruf nahi mungkar kepada pemerintahan, marilah kita pelajari manhaj Salafus Shalih dalam perkara ini.

MANHAJ SALAFUS SHALIH BERAMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR KEPADA PEMERINTAH

Allah adalah Dzat Yang Maha Adil. Dia akan memberikan kepada orang-orang yang beriman seorang pemimin yang arif dan bijaksana. Sebaliknya Dia akan menjadikan bagi rakyat yang durhaka seorang pemimpin yang dhalim.

Maka jika terjadi pada suatu masyarakat seorang pemimpin yang dhalim, sesungguhnya kedhaliman tersebut dimulai dari rakyatnya. Meskipun demikian apabila rakyat dipimpin oleh seorang penguasa yang melakukan kemaksiatan dan penyelisihan (terhadap syariat) yang tidak mengakibatkan dia kufur dan keluar dari Islam maka tetap wajib bagi rakyat untuk menasihati dengan cara yang sesuai dengan syariat.

Bukan dengan ucapan yang kasar lalu dilontarkan di tempat-tempat umum apalagi menyebarkan dan membuka aib pemerintah yang semua ini dapat menimbulkan fitnah yang lebih besar lagi dari permasalahan yang mereka tuntut.

Adapun dasar memberikan nasihat kepada pemerintah dengan sembunyi-sembunyi adalah hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :

“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).”

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al Khaitsami dalam Al Majma’ 5/229, Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah 2/522, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 2/121. Riwayat ini banyak yang mendukungnya sehingga hadits ini kedudukannya shahih bukan hasan apalagi dlaif sebagaimana sebagian ulama mengatakannya. Demikian keterangan Syaikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim (lihat Muamalatul Hukam fi Dlauil Kitab Was Sunnah halaman 54).

Dan Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Dzilalul Jannah fi Takhriji Sunnah 2/521-522. Hadits ini adalah pokok dasar dalam menasihati pemerintah. Orang yang menasihati jika sudah melaksanakan cara ini maka dia telah berlepas diri (dari dosa) dan pertanggungjawaban. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Barjas.

Bertolak dari hadits yang agung ini, para ulama Salaf berkata dan berbuat sesuai dengan kandungannya. Di antara mereka adalah Imam As Syaukani yang berkata : “Bagi orang-orang yang hendak menasihati imam (pemimpin) dalam beberapa masalah --lantaran pemimpin itu telah berbuat salah-- seharusnya ia tidak menampakkan kata-kata yang jelek di depan khalayak ramai.

Tetapi sebagaimana dalam hadits di atas bahwa seorang tadi mengambil tangan imam dan berbicara empat mata dengannya kemudian menasihatinya tanpa merendahkan penguasa yang ditunjuk Allah. Kami telah menyebutkan pada awal kitab As Sair : Bahwasanya tidak boleh memberontak terhadap pemimpin walaupun kedhalimannya sampai puncak kedhaliman apapun, selama mereka menegakkan shalat dan tidak terlihat kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits dalam masalah ini mutawatir.

Akan tetapi wajib bagi makmur (rakyat) mentaati imam (pemimpin) dalam ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (As Sailul Jarar 4/556)

Imam Tirmidzi membawakan sanadnya sampai ke Ziyad bin Kusaib Al Adawi. Beliau berkata : “Aku di samping Abu Bakrah berada di bawah mimbar Ibnu Amir. Sementara itu Ibnu Amir tengah berkhutbah dengan mengenakan pakaian tipis. Maka Abu Bilal[3] berkata : “Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik.”

Lantas Abu Bakrah berkata : “Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang menghina (merendahkan) penguasa yang ditunjuk Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.’ ” (Sunan At Tirmidzi nomor 2224)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan tata cara menasihati seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syaukani sampai pada perkataannya : “ … sesungguhnya menyelisihi pemimpin dalam perkara yang bukan prinsip dalam agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di perkumpulan-perkumpulan masjid, selebaran-selebaran, tempat-tempat kajian, dan sebagainya, itu semua sama sekali bukan tata cara menasihati. Oleh karena itu jangan engkau tertipu dengan orang yang melakukannya walaupun timbul dari niat yang baik. Hal itu menyelisihi cara Salafus Shalih yang harus diikuti. Semoga Allah memberi hidayah padamu.” (Maqasidul Islam halaman 395)

Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid bahwasanya beliau ditanya : “Mengapa engkau tidak menghadap Utsman untuk menasihatinya?” Maka jawab beliau : “Apakah kalian berpendapat semua nasihatku kepadanya harus diperdengarkan kepada kalian? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya hanya antara aku dan dia. Dan aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu (fitnah) ini.” (HR. Bukhari 6/330 dan 13/48 Fathul Bari dan Muslim dalam Shahih-nya 4/2290)

Syaikh Al Albani mengomentari riwayat ini dengan ucapannya : “Yang beliau (Usamah bin Zaid) maksudkan adalah (tidak melakukannya, pent.) terang-terangan di hadapan khalayak ramai dalam mengingkari pemerintah. Karena pengingkaran terang-terangan bisa berakibat yang sangat mengkhawatirkan. Sebagaimana pengingkaran secara terang-terangan kepada Utsman mengakibatkan kematian beliau[4].”

Demikian metode atau manhaj Salaf dalam amar ma’ruf nahi mungkar kepada pemerintah atau orang yang mempunyai kekuasaan. Dengan demikian batallah manhaj Khawarij yang mengatakan bahwa demonstrasi termasuk cara untuk berdakwah sebagaimana yang dianggap oleh Abdurrahman Abdul Khaliq.

Manhaj Khawarij ini menjadi salah satu sebab jeleknya sifat orang-orang Khawarij. Sebagaimana dalam riwayat Said bin Jahm beliau berkata : “Aku datang ke Abdullah bin Abu Aufa, beliau matanya buta, maka aku ucapkan salam.”

Beliau bertanya kepadaku : “Siapa engkau?” “Said bin Jahman,” jawabku. Beliau bertanya : “Kenapa ayahmu?” Aku katakan : “Al Azariqah[5] telah membunuhnya.” Beliau berkata : “Semoga Allah melaknat Al Azariqah, semoga Allah melaknat Al Azariqah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengatakan bahwa mereka anjing-anjing neraka.” Aku bertanya : “(Yang dilaknat sebagai anjing-anjing neraka) Al Azariqah saja atau Khawarij semuanya?” Beliau menjawab : “Ya, Khawarij semuanya.” Aku katakan : “Tetapi sesungguhnya pemerintah (telah) berbuat kedhaliman kepada rakyatnya.” Maka beliau mengambil tanganku dan memegangnya dengan sangat kuat, kemudian berkata : “Celaka engkau wahai Ibnu Jahman, wajib atasmu berpegang dengan sawadul a’dham, wajib atasmu untuk berpegang dengan sawadul a’dham. Jika engkau ingin pemerintah mau mendengar nasehatmu maka datangilah dan khabarkan apa yang engkau ketahui. Itu kalau dia menerima, kalau tidak, tinggalkan! Sesungguhnya engkau tidak lebih tahu darinya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 4/383)

Dan masih banyak lagi hadits-hadits mengenai celaan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam terhadap orang-orang Khawarij sebagai anjing-anjing neraka karena perbuatan mereka sebagaimana telah dijelaskan.

Oleh karena itu, bagi seorang Muslim yang masih mempunyai akal sehat, tidak mungkin dia akan rela dirinya terjatuh pada jurang kenistaan seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (sebagai anjing-anjing neraka). Maka wajib bagi kita apabila hendak menasehati pemerintah, hendaklah dengan metode Salaf yang jelas menghasilkan akibat yang lebih baik dan tidak menimbulkan bentrokan fisik antara rakyat (demonstran) dengan aparat pemerintah yang akhirnya membawa kerugian di kedua belah pihak atau munculnya tindak anarki.

DEMONSTRASI ATAU UNJUK RASA MERUPAKAN BENTUK TASYABUH (MENYERUPAI) ORANG-ORANG KAFIR

Sangat disayangkan, para demonstran ini mayoritas mereka adalah aktivis-aktivis Islam. Tetapi mengapa mereka melakukan hal ini? Mana ciri Islam mereka? Atas dasar apa melakukan hal hal itu? Apakah berdasarkan dalil ataukah berlandaskan syubhat (kekaburan pemahaman)? Mereka --mahasiswa/rakyat yang beragama Islam--- tidak sadar bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, junjungan mereka, yaitu larangan menyerupai orang-orang kafir. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengabarkan : “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka mereka termasuk kaum tersebut.” Malah demonstrasi ini termasuk bentuk tasyabuh terhadap orang kafir. Telah diterangkan oleh Syaikh Al Albani hafidhahullah tatkala seorang penanya menyampaikan pertanyaan kepada beliau yang lengkapnya demikian :

Penanya : “Apa hukumnya demonstrasi/unjuk rasa, misalnya para remaja, laki-laki maupun perempuan keluar ke jalan-jalan?”

Syaikh : “Para perempuan juga?”

Penanya : “Benar. Sungguh ini telah terjadi!”

Syaikh : “Masya Allah.”

Penanya : “Mereka keluar ke jalan-jalan dalam rangka menentang sebagian permasalahan yang dituntut atau diperintahkan oleh orang yang mereka anggap taghut-taghut, atau apa yang mereka tuntut dari organisasi/partai-partai politik yang bertentangan dengan mereka. Apa hukumnya perbuatan ini?”

Syaikh : [ Aku katakan --wabillahi taufiq--, jawaban dari soal ini termasuk pada kaidah dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radliyallahu 'anhu atau hadits Ibnu Umar radliyallahu 'anhu --saya ragu apakah beliau Abdullah bin ‘Amr atau Ibnu Umar-- ia berkata : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Aku diutus dengan pedang dekat sebelum hari kiamat sampai hingga hanya Allah-lah yang disembah, tidak ada sekutu baginya. Dan Allah menjadikan rizqiku di bawah naungan tombak, dijadikan kerendahan dan kekerdilan atas orang yang menyelisihi pemerintah. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.” Yang dijadikan dalil dari ucapan beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini adalah perkataan : “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum mereka.”

Maka tasyabuh (penyerupaan) seorang Muslim kepada seorang kafir tidak dibolehkan dalam Islam. Tasyabuh kepada seorang kafir ada beberapa tingkatan dari segi hukum. Yang tertinggi adalah haram dan yang terendah adalah makruh. Permasalahan ini sudah diterangkan secara rinci oleh Syaikhul Islam di dalam kitabnya yang agung, Iqtidla’ Shirathal Mustaqim Mukhalafata Ashabil Jahim secara rinci dan tidak akan didapat selain dari beliau rahimahullah. Aku ingin memperingatkan perkara yang lain, yang sepantasnya bagi Thalabul Ilmi memperhatikannya agar tidak menyangka bahwa hanya tasyabuh saja yang dilarang syariat.

Ada perkara lain --yang lebih tersamar-- yaitu perintah untuk menyelisihi orang-orang kafir. Tasyabuh kepada orang-orang kafir adalah menjalankan kesukaan mereka. Adapun menyelisihi orang-orang kafir adalah engkau bermaksud menyelisihi mereka pada apa yang kita dan mereka mengerjakannya tetapi mereka tidak merubahnya. Seperti sesuatu yang ditetapkan dengan ketetapan alami yang tidak berbeda antara Muslim dengan kafir, karena sesungguhnya pada ketetapan ini, tidak ada usaha dan kehendak dari makhluk. Karena yang demikian adalah sunnatullah tabarak wa ta’ala kepada manusia dan engkau tidak akan mendapati sunnatullah itu berubah. Sebagaimana telah shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir rambut-rambut mereka maka selisihilah mereka (2X).” Sungguh dalam hal ini seorang Mukmin mungkin menyerupai orang kafir dalam hal uban. Dan ini tidak ada perbedaannya. Engkau tidak akan menemukan seorang Muslim yang tidak beruban kecuali sangat sedikit sekali. Ada kesamaan di sini pada penampilan antara Muslim dan kafir yang sama-sama keduanya tidak bisa memiliki/mengatur sebagaimana yang kami katakan tadi. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kita untuk menyelisihi kaum musyrikin, yakni dengan menyemir uban rambut-rambut kita. Sama saja rambut jenggot atau kepala. Untuk apa? Agar dengan ini tampak perbedaan antara Muslim dan kafir. Maka apa tujuannya kalau apabila seorang kafir mengerjakan suatu amalan lalu seorang Muslim ikut melakukannya dan terpengaruh dengan perbuatan-perbuatan mereka? Ini kesalahan yang lebih parah daripada menyelisihi. Dalam masalah ini, aku memperingatkannya sebelum memasuki bahasan dalam menerangkan pertanyaan yang ditujukan padaku.

Jika telah diketahui perbedaan antara tasyabuh dengan penyelisihan maka seorang Muslim yang benar keislamannya hendaknya terus menerus berusaha menjauhi bertasyabuh dengan orang kafir.

Sebaliknya harus berusaha menyelisihi mereka. Dengan alasan inilah kami menyunnahkan (membiasakan) meletakkan jam tangan di tangan kanan karena mereka yang pertama kali membuat jam tangan memakainya di tangan kiri.

Kami mengambil istinbath demikian berdasar ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Maka selisihilah mereka.” Kalian mengetahui hadits ini : “Bahwa Yahudi dan Nashara tidak menyemir rambut mereka maka selisihilah mereka.” Sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam dalam kitab tersebut (Iqtidla). Ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Maka selisihilah mereka,” merupakan hujjah yang mengisyaratkan penyelisihan terhadap orang-orang kafir sebagaimana yang dikehendaki oleh As Sami’ul ‘Alim (Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, kami mendapati praktek penyelisihan dalam amalan dan hukum-hukum bukan termasuk wajib. Seperti makan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam atau : “Shalatlah kalian di atas sandal-sandal kalian.” “Selisihilah Yahudi (2X).” Di sini diketahui bahwasanya shalat memakai sandal bukan fardlu. Beda dengan memanjangkan jenggot, karena orang yang mencukurnya akan mendapat dosa.

Adapun shalat dengan bersandal itu adalah perkara yang sunnah (mustahab). Namun apabila seorang Muslim terus menerus tidak memakai sandal ketika shalat justru telah menyelisihi sunnah dan bukan menyelisihi Yahudi.

Ada suatu hal yang perlu diperhatikan di sini sebagaimana dalam riwayat sikap tawadlu Ibnu Mas’ud ketika beliau mempersilakan Abu Musa Al Asy’ari mengimami shalat waktu itu. Padahal kedudukan Ibnu Mas’ud lebih utama dari Abu Musa radliyallahu 'anhu. Pada waktu itu Abu Musa Al Asy’ari melepas sandalnya dan segera ditegur dengan keras oleh Ibnu Mas’ud : “Bukankah ini perbuatan orang-orang Yahudi? Apakah kau menganggap dirimu ada di lembah Thursina yang disucikan?” Ucapan Ibnu Mas’ud ini menegaskan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Shalatlah di atas sandal kalian dan selisihilah Yahudi!”

Apabila dua hakikat ini telah dipahami yaitu (larangan) tasyabuh dan (perintah) menyelisihi kaum musyrikin maka wajib bagi kita untuk menjauhi setiap perilaku kesyirikan dan segala bentuk kekufuran.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan kalaupun mereka menyusuri atau masuk ke lubang biawak niscaya kalian pun akan memasukinya.”

Berita dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini mengandung peringatan bagi umat ini. Namun di samping itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga mengatakan dalam hadits mutawatir : “Akan selalu ada dari umatku suatu kelompok yang menampakkan Al Haq. Tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka sampai datang hari kiamat.”

Jadi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam itu telah memberikan khabar gembira dalam hadits shahih ini bahwasanya umat ini terus dalam keadaan baik. Tatkala datang berita ini, yaitu : “Sungguh kalian akan mengikuti jalan-jalan sebelum kalian.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memaksudkan dalam hadits ini setiap individu dalam umatnya akan mengikuti jalan orang-orang kafir.

Maka ucapan itu bermakna peringatan artinya : “Hati-hati kalian, jangan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian. Dan sesungguhnya akan ada dari kalian orang-orang yang melakukannya.”

Dalam riwayat lain selain riwayat As Shahihain, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggambarkan perbuatan orang Yahudi pada tingkat yang sangat parah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda (dalam riwayat itu) : “Bahkan ada dari mereka (Yahudi) orang yang mendatangi (menzinahi) ibunya di tengah-tengah jalan dan niscaya akan ada pula dari kalian yang akan melakukanya.”

Kecenderungan pada jaman ini telah membuktikan kebenaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tersebut walaupun masih perlu adanya penelitian yang lebih mendalam.

Dan pada sebagian hadits-hadits yang telah tsabit, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ada di antara manusia bersetubuh seperti bersetubuhnya keledai di jalan-jalan.” Ini adalah puncak kejelekan tasyabuh terhadap orang-orang kafir.

Apabila kalian telah mengetahui larangan bertasyabuh dan perintah untuk menyelisihi (orang-orang kafir) maka kembali kepada permasalahan demonstrasi (unjuk rasa), kita saksikan dengan mata kepala sendiri saat Perancis menguasai Suriah dan apa yang terjadi di Aljazair. Di sana terdapat kesesatan dan tasyabuh dengan turut sertanya para wanita dalam demonstrasi.

Demikian itu merupakan kesempurnaan tasyabuh terhadap orang kafir baik laki-laki atau perempuan. Karena kita melihat melalui foto-foto, berita lewat radio, dan televisi atau selainnya tentang keluarnya beribu-ribu manusia dari kalangan orang-orang kafir Afrika maupun Syiria dan yang lainnya.

Menurut ungkapan orang-orang Syam, keluarga laki-laki dan wanita dalam keadaan “meleit temkit”. Meleit temkit maksudnya mereka berdesakan antara punggung dengan punggung, atau pinggul dengan pinggul, dan lain-lain. Saya katakan dari segi yang lain (yang berhubungan dengan demonstrasi) : Bahwasanya demonstrasi ini menunjukkan sikap taklid terhadap orang-orang kafir dalam rangka menolak undang-undang yang ditetapkan oleh hakim-hakim mereka.

Demonstrasi ala Eropa dengan sikap taklidiyah (ikut-ikutan) dari kalangan kaum Muslimin bukan termasuk cara yang syar’i untuk memperbaiki hukum dan keadaan masyarakat. Dari sini setiap jamaah hizbiyah kelompok Islam jelas telah melakukan kekeliruan besar karena tidak menelusuri jalan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di dalam merubah keadaan masyarakat. Tidak ada dalam aturan Islam merubah keadaan masyarakat dengan cara bergerombol-gerombol, berteriak-teriak, dan demonstrasi (unjuk rasa).

Islam mengajarkan ketenangan dengan mengajarkan ilmu di kalangan kaum Muslimin serta mendidik mereka di atas syariat Islam sampai berhasil walaupun harus dengan waktu yang sangat panjang.

Dengan ini saya katakan dengan ringkas, demonstrasi dan unjuk rasa yang terjadi di sebagian negara Islam pada asalnya adalah penyimpangan dari jalan kaum Mukminin[6] dan tasyabuh (menyerupai) golongan kafir. Sungguh Allah telah berfirman (yang artinya) : “Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’ : 115)

Penanya : “Mereka --para demonstran-- berdalih dengan dalil Sirah (sejarah Nabi) bahwasanya setelah Umar radliyallahu 'anhu masuk Islam, kaum Muslimin (serentak) keluar.

Umar pada suatu barisan sedang Hamzah di barisan lain. Maka mereka (yang pro demonstrasi) mengatakan unjuk rasa ini untuk mengingkari taghut-taghut dan orang kafir Quraisy. Bagaimanakah jawaban Anda dengan dalil semacam ini?”

Jawab : Jawaban terhadap pendalilan semcam itu adalah : Berapa kali aksi demonstrasi ini terjadi pada masyarakat Islam (dulu)? Hanya satu kali. Padahal sirah termasuk sunnah yang diikuti, menurut ulama fiqih. Mereka mengatakan kalau tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam suatu ibadah yang disyariatkan akan diberi pahala orang yang melakukannya.

Dan dalam pelaksanaannya pun tidak boleh terus-menerus tanpa putus karena dikhawatirkan menyerupai perkara wajib dengan sebab lamanya waktu.

Kebanyakan manusia --menurut adat mereka-- kalau ada salah satu Muslim meninggalkan sunnah seperti ini niscaya akan diingkari dengan keras. Demikian menurut para ahli fiqih. Maka bagaimana kalau ada suatu peristiwa yang sekilas terjadi pada waktu tertentu seperti disebutkan di dalam sirah di atas kemudian dijadikan sunnah yang diikuti bahkan dijadikan hujjah untuk mendukung apa yang diperbuat oleh orang-orang kafir secara terus-menerus sedangkan kaum Muslimin tidak secara mutlak melakukannya kecuali pada saat itu saja[7].

Kita mengetahui kebanyakan pemerintahan mempunyai hukum-hukum yang keluar dari Islam dan kadang-kadang manusia dipenjarakan dengan dhalim dan melampaui batas, maka bagaimana sikap kaum Muslimin dalam hal ini? Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah memerintahkan dalam hadits yang shahih wajibnya taat kepada pemerintah walaupun dia mengambil hartamu dan memukul punggungmu. Namun kenyataannya demonstrasi bukan ketaatan kepada pemerintah seperti yang digariskan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Inilah yang aku khawatirkan tentang apa yang dinamakan “kebangkitan (shahwah) suara kebenaran”, bagaimana kita akan meridlainya? Bagaimana mungkin suatu “kebangkitan (shahwah)” dengan perasaan, bukan dengan ilmu? Padahal ilmu itulah yang menjadikan perkara itu dianggap baik atau buruk.

Tidak diragukan lagi di Aljazair dan di setiap negara Islam, shahwah ini lahir dari pemuda Muslim setelah mereka “bangun dari tidur”. Akan tetapi engkau akan melihat mereka berjalan di atas jalan yang menunjukkan ketidakgigihan mereka dalam menuntut ilmu Allah ‘Azza wa Jalla.

Kita tidak memperpanjang pembahasan. Cukuplah kita katakan pengambilan mereka terhadap dalil ini menunjukkan kebodohan mereka terhadap fiqih Islam sebagaimana yang kami telah isyaratkan di depan. Kejadian yang sesaat ini terbetik pada diri saya dan saya teringat bahwa kejadian ini tercatat dalam sirah. Akan tetapi saya belum bisa mendapati shahih atau tidaknya saat ini. Jika riwayat ini shahih sanadnya maka dan ada salah seorang di antara kalian mendapati riwayat ini pada kitab-kitab hadits standar, tolong ingatkan saya. Sehingga saya bisa memeriksa barangkali riwayat tentang demonstrasi dalam sirah tersebut shahih. Maka kalaupun shahih, hanya dilakukan sekali saja. Jika terjadi hanya sekali saja, tentu tidak bisa dijadikan sunnah. Apalagi bila demonstrasi saat ini lebih sering dilakukan oleh orang-orang kafir yang seharusnya kaum Muslimin menyelisihinya.

Kejadian ini dilakukan oleh orang-orang kafir kemudian kita mengikutinya. Ulama Hanafiyah telah membuat pijakan di dalam masalah fiqhiyah bahwasanya ada suatu masalah yang merupakan sunnah Muhammadiyah yang tidak sepantasnya ditinggalkan, yaitu sunnah membaca surat Sajadah pada pagi hari Jum’at (saat shalat Shubuh). Ini terdapat dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim). Walaupun demikian ulama Hanafiyah menganjurkan pada imam-imam masjid agar sesekali meninggalkannya, dikhawatirkan apabila terus menerus diamalkan di kalangan orang awam, akan menganggkat hukumnya keluar dari hukum asalnya.

Kami mempunyai bukti yang mendukung ketelitian dalam fiqih dan pemahaman terhadap sunnah ini. Saya sangat ingat bahwasanya imam di masjid besar Damaskus, yaitu masjid Bani Umayah, mengimami shalat shubuh di masjid tersebut dan dia tidak membaca surat Sajadah.

Baru saja imam salam, tiba-tiba mereka membentak dan mendatangi imam tersebut seraya berkata : “Kenapa engkau tidak membaca surat Sajadah?” Kemudian dia menerangkan bahwa hal itu adalah sunnah dan kadang-kadang dianjurkan untuk meninggalkannya.

Kejadian ini terjadi karena imam masjid mengamalkan amalan tersebut secara terus-menerus dan berlangsung lama. Dan saat itu ia tidak mengerjakan amalan tersebut.

Lebih aneh lagi yang terjadi pada diri saya. Pada suatu hari saya berada dalam perjalanan dari Damaskus kira-kira 60 km ke Madhaya. Maka aku hampir di pagi hari Jum’at untuk shalat berjamaah bersama kaum Muslimin di sana. Tatkala itu imam tidak datang.

Maka mereka mencari pengganti imam yang cocok. Mereka tidak mendapati pengganti kecuali saya. Pada waktu itu saya masih muda dan jenggot saya baru tumbuh. Dalam keadaan bingung, mereka menyuruh saya maju. Saya sebenarnya belum hafal surat Sajadah dengan baik maka aku membaca surat Maryam. Aku membaca dua halaman awal. Tatkala aku takbir untuk ruku maka aku merasakan semua makmum malah sujud. Ini menunjukkan karena apa? Karena adat kebiasaan (yakni mereka sujud tilawah karena kebiasaan dan bukan dengan ilmu, ed.).

Seyogyanya para imam menjaga keadaan masyarakatnya agar tidak ghuluw (berlebihan) pada sebagian hukum-hukum. Lalu memberi penjelasan bahwa masalah syariat, wajib untuk diambil dengan tanpa sikap keterlaluan hingga mengangkat derajat hukum sunnah menjadi wajib dan sebaliknya yang wajib menjadi sunnah.

Semua ini adalah ifrath dan tafrith yang tidak diperbolehkan. Inilah jawaban saya terhadap pendalilan (riwayat Umar di atas) yang menunjukkan atas kebodohan orang yang mengambil dalil dengannya. ] (Kaset Fatawa Jeddah nomor 89880, pagi Shubuh, hari Ahad, 27 Jumadil Akhir 1410 H)

BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT ABDURRAHMAN ABDUL KHALIQ

Di awal sudah saya singgung masalah manhaj Abdurrahman Abdul Khaliq terhadap pemerintah Muslimin. Yaitu bolehnya memakai demonstrasi sebagai alat dakwah dengan berdalil riwayat Umar radliyallahu 'anhu yang dibawakan oleh seorang penanya di atas. Dan Syaikh Al Albani mengatakan bahwa beliau belum tahu shahih dan dlaifnya riwayat tersebut. Syaikh Abdul Aziz bin Bazz telah membantah syubhat Abdurrahman Abdul Khaliq dalam surat menyurat antara beliau dengan Abdurrahman Abdul Khaliq. Kata Syaikh bin Bazz : “Engkau menyebutkan pada kitab Fushul Minas Siyasah As Syar’iyyah halaman 31-32 bahwasanya termasuk dari uslub (metode) dakwah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah demonstrasi. Aku belum pernah mengetahui nash yang sharih dalam masalah ini. Maka aku mengharap faidah dari siapa kamu mengambil dan dari kitab mana kamu dapatkan. Jika hal itu tidak ada sanadnya maka kamu wajib untuk rujuk (kembali/bertaubat) dari hal itu. Karena aku tidak tahu sama sekali nash-nash yang menunjukkan hal itu.

Dengan menggunakan demonstrasi atau unjuk rasa justru mengakibatkan banyak kerusakan. Jika nash (dalil) itu shahih maka kamu harus menerangkan dengan jelas dan sempurna sehingga orang-orang yang membuat kerusakan tidak berdalih dengannya dalam demonstrasi-demonstrasi mereka yang bathil.” (Tanbihat wa Ta’biqat halaman 41)

Jawaban Abdurrahman Abdul Khaliq : “Adapun ucapanku pada kitab Al Fushul Minas Siyasah As Syar’iyyah fi Da’wah Ilallah halaman 31-33 maka aku katakan : Aku telah menyebutkan demonstrasi-demonstrasi yang digelar itu sebagai wasilah (metode) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam menampakkan dakwah Islam, sebagaimana telah diriwayatkan bahwa setelah masuk Islamnya Umar radliyallahu 'anhu, kaum Muslimin keluar karena perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada dua shaf (barisan) dalam rangka menampakkan kekuatan.

Dalam satu barisan terdapat Hamzah radliyallahu 'anhu, sedang barisan yang lain ada Umar bin Al Khattab radliyallahu 'anhu beserta kaum Muslimin.” (Kemudian Abdurrahman Abdul Khaliq membawakan riwayat dengan sanad-sanad yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di dalam Al Hilyah 1/40 dengan sanad sampai ke Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu, Ibnu Abi Syaibah dalam As Shahabah 2/512, dan di dalam Tarikh-nya serta Al Bazar).

Kemudian dia (Abdurrahman Abdul Khaliq) berkata : “Tetapi setelah kedatangan surat Anda (Syaikh bin Bazz) aku dapatkan bahwa pusat (poros) sanad hadits ini atas Ishaq bin Abdullah bin Abi Farwah, dia mungkarul hadits.” Demikian pernyataan Abdurrahman Abdul Khaliq.

Tapi anehnya setelah itu dia mengatakan : “Aku berpandangan metode ini (demonstrasi) bisa untuk dijadikan metode yang benar dalam mendorong/menganjurkan manusia dalam shalat Jum’at dan jamaah … dalam rangka menampakkan banyaknya orang Islam.

Demikian juga memamerkan tentara-tentara Islam bersamaan dengan peralatan perang karena hal ini dapat menaklukan hati-hati musuh dan menakuti musuh-musuh Allah serta meninggikan syariat Islam.”

Demikian cara Ahlul Bid’ah. Setelah ditanya atau dibantah dari sisi pendalilan dan setelah ucapan atau perbuatannya diketahui tidak benar bahkan palsu maka mereka tidak mau merujuk kepada dalil yang shahih dan manhaj yang benar.

Bahkan dia berkelit : “Maksud saya demikian, maksud saya demikian”, “boleh saja hadits lemah --dalam hal ini palsu-- dijadikan i’tibar”, dan berbagai silat lidah lainnya pun meluncur tajam.

Maka saya katakan, setelah atsarnya diketahui mungkar karena adanya rawi yang mungkarul hadits pada sanadnya, tentu saja demonstrasi tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa dijadikan manhaj amar ma’ruf nahi mungkar. Karena metode dakwah adalah tauqifiyah, yakni harus sesuai dengan metode Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya.

Jikalau kisah Umar itu shahih, maka penjelasannya adalah sebagaimana yang telah diterangkan oleh Syaikh Al Albani. Dengan telah diketahui atsarnya dlaif bahkan mungkar, maka tidak bisa lagi dijadikan sebagai dalil bolehnya demonstrasi, sekalipun niatnya baik, sebagaimana telah diterangkan oleh Syaikh bin Bazz di atas. Wallahu A’lam.

KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN PADA ACARA UNJUK RASA

Di atas sudah diterangkan sebagian kemungkaran pada acara demo yaitu :

- Bentuk tasyabuh dengan orang-orang kafir.

- Termasuk khuruj (menentang pemerintah) yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam riwayat Muslim dan lain-lain. (Lihat Nasehati)

- Menceritakan aib pemerintah di depan umum dalam bentuk orasi-orasi yang ini pun dilarang oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. (Lihat Nasehati)

- Ikhtilath (bercampurnya laki-laki dan perempuan) bahkan berdesak-desakan. (Lihat SALAFY rubrik Ahkam edisi 4 tahun pertama)

- Tindak anarkis yang seringkali timbul ke sana atau setelah demonstrasi dan orasi-orasi.

- Dan lain-lain.

SOLUSI DARI KRISIS

Pada situasi sekarang, masalah yang timbul bukan saja terjadi akibat satu aspek, misalnya ekonomi. Tetapi juga terkait pada aspek lainnya, seperti sosial dan politik. Dan krisis ini tidak bisa sembuh total manakala dibasmi dengan kebathilan.

Suatu negara yang dipimpin oleh pemimpin yang dhalim yang di dalamnya ditaburi praktek-praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme merupakan buah dari tindakan rakyatnya juga. Maka kalau rakyatnya baik, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menganugerahkan kepada mereka pemimpin yang arif dan bijaksana. Hal ini sudah dibuktikan oleh junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para Khulafaur Rasyidin. Situasi yang kacau balau ini solusinya bukan dengan demonstrasi tetapi dengan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang tepat dan benar. Kemudian menyebarkan ilmu yang haq di kalangan umat agar muncul generasi-generasi yang berbekal ilmu. Akhirnya diharapkan nanti setiap langkah yang mereka lakukan diukur dengan ilmu syar’i yang haq. Dengan demikian akan musnahlah virus kolusi, korupsi, dan virus-virus lainnya. Wallahu A’lam Bis Shawab.

[1] Seperti pendapatnya Abdurrahman Abdul Khaliq dan konco-konconya.

[2] Orang yang bergabung dengannya disebut golongan (firqah) Saba’iyah.

[3] Mirdas bin Udayah adalah seorang Khawarij. Lihat Tahdzibul Kamal oleh Imam Al Mizzi 7/399.

[4] Mukhtashar Shahih Muslim, ta’liq Syaikh Al Albani nomor 335.

[5] Salah satu aliran dari aliran-aliran Khawarij.

[6] Shahabat, ed.

[7] Ini bukti bahwa para shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya tidak mengambil kejadian itu sebagai sunnah dalam rangka mengingkari pemerintah.

(sumber : Tulisan Ustadz Zuhair Syarif Majalah SALAFY XXVII/1419/1998/MABHATS)

FANATISME GOLONGAN (Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Atsari )


"Quyud Hizbiyah", itulah judul asal dari tulisan di bawah ini, yang kemudian diterjemahkan menjadi "Belenggu-Belenggu Hizbiyah". Dinukil dan diterjemahkan dari sebuah kitab, yang nilai ilmiahnya sangat berbobot, berjudul : "Ad-Da'wah Ilallah Baina At-Tajammu' Al-Hizbi wa At-Ta'awun As-Syar'i" di susun oleh seorang ulama muda terkemuka (murid dari Syaikh Muhaddits zaman ini, Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah) bernama Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari.

Diterjemahkan oleh A.Faiz (dari sub judul Quyud Hizbiyah), agar hendaknya wawasan pembaca tentang da'wah Islamiyah menjadi lebih terbuka, dan dimuatnya tulisan ini di ML assunnah karena berhubungan dengan ilmu dan tentunya dengan ijin dari penerjemah.

BELENGGU-BELENGGU HIZBIYAH

Seorang Imam tsiqah, Ayub As-Sakhtiyaniy pernah berkata : "Jika engkau ingin mengerti kesalahan gurumu, maka duduklah engkau untuk belajar kepada orang lain" (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunannya (1/153).

Justru karena inilah, maka kaum hizbiyun (aktifis fanatik terhadap golongan) melarang pengikut-pengikutnya untuk menimba ilmu dari orang-orang selain golongan atau simpatisannya. Kalaupun sikap mereka menjadi lunak, namun mereka akan memberikan kelonggaran dengan banyak syarat serta ikatan-ikatan yang njelimet, supaya akal-akal pikiran para pengikutnya tetap tertutup bila mendengar hal-hal yang bertentangan dengan jalan mereka atau mendengar bantahan terhadap bid'ah mereka.

Dengan cara ini, sesungguhnya mereka telah mengambil uswah kaum tarekat sufi dan mengambil qudwah pada khurafatnya hubungan antara seorang "syaikh (sufi) dengan pengikutnya". Manakala persyaratan seorang syaikh atas pengikutnya yang pernah di contohkan oleh Rasulullah SAW tentang wajibnya taat melaksanakan "Baiat Islamiyyah yang menjadi keharusan ?" (Al-Muntaqa An-Nafis min Tablis Iblis, hal 250). Di sana ada ta'liq sebagai berikut : "Persis seperti itulah, dengan segala bentuk dan bentukannya apa yang diperbuat oleh kaum Hizbiyun (aktifis golongan yang fanatik) pada abad sekarang ini berupa pengambilan ikrar, ikatan janji (bai'at-pen) dan lain-lain yang itu jelas-jelas merupakan hal batil).

Imam As-Suyuthi rahimahullah (di dalam kitab Al-Hawiy Lil Fatwa (1/253) pernah di tanya tentang seorang sufi yang telah berba'iat kepada seorang syaikh, tetapi kemudian ia memilih syaikh lain untuk diba'iatnya : "Adakah kewajiban yang mengikat itu, bai'at yang pertama atau yang kedua..?.

Maka beliau -rahimahullah- menjawab : "Tidak ada yang mengikatnya, baik bai'at yang pertama maupun bai'at yang kedua (di dalam kitab Al-Minhah Al-Muhammadiyah Fi Bayan Al-Aqaid As-Salafiyyah Lis Syuqairi, terdapat penjelasan panjang lebar tentang penetapan-penetapan bid'ah dan bathilnya bai'at-bai'at semacam ini). Dan yang demikian itu tidak ada asal-usulnya (jadi pernyataan sebagian tentang apa yang menjadikan mereka terhimpun dalam sebuah tandzim hizbi bahwa sesungguhnya itu adalah : "Ikrar atau bai'at khusus dan lain-lain adalah hal-hal yang tidak ada asal-usulnya dan tidak ada benarnya sama sekali).

Semua ikatan-ikatan dan persyaratan-persyaratan itu adalah bathil, tidak ada asal-usulnya sama sekali dari Al-Qur'an maupun AS-Sunnah.

"Setiap persyaratan yang tidak ada terdapat dalam kitabullah, maka persyaratan itu bathil, sekalipun berjumlah seratus persyaratan"
(Seperti telah shahih dari Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain, sedang lafadz diatas adalah lafadz Ibnu Majah (2521) dari "Aisyah radhiyallu 'anha).

Belenggu-belenggu Hizbiyah yang memprihatinkan di antaranya ialah :

Sikap memperkecil arti pentingnya ilmu Syar'i

Ilmu adalah sesuatu, sedangkan kalam adalah sesuatu yang lain. As-Salafushalih adalah ahli ilmu yang bermanfa'at, sedangkan "Al-Khalaf" adalah ahli kalam yang kalamnya berhamburan.

Ilmu salaf sedikit bilangannya, tapi berkah dan pekat, sedangkan ilmu kaum "khalaf", banyak jumlah kata-katanya tetapi sedikit faedahnya.

Umat Islam adalah umat ilmu dan amal, maka ilmunya adalah dalil, petunjuk dan akar.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan katakanlah : "Wahai Rabbku, tambahkanlah padaku ilmu" (Thaha : 114)
"Dan tidaklah memahaminya melainkan orang-orang yang berilmu" (Al-Ankabut : 43)
"Katakanlah : "Apakah sama orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu". (Az-Zummar : 9).
"Allah mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat". (Al-Mujadalah : 11).

Anda tidak bisa mengingkari adanya orang yang meremehkan persoalan mencari ilmu, dengan alasan : yang penting memahami realitas, da'wah ilallah (da'wah kepada Allah) dan bergerak menerjuni medan ..... tapi ingat, dengan apakah ia memahami realitas.... untuk maksud apakah ia berda'wah ...? dan dengan apakah ia bergerak...?

Suatu teori memang mempunyai kedudukan tersendiri... tetapi teori itu bukanlah ilmu. Pidato berapi-api terkadang memang membangkitkan... tetapi itu tidak membentuk bangunan. Dan daya khayal yang cepat memang mengagumkan... tetapi ia akan cepat pula hilang.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang memberi manfa'at kepada manusia, maka ia tetap di bumi". (Ar-Ra'du :17).
(Al-Harakah Al-Islamiyah Al-Mu'ashirah hal : 16, Lis Syaikh 'A-idl Al-Qorny).

Belenggu-belenggu (Hizbiyah) ini sebagaimana telah dijelaskan di muka, mempunyai tokoh-tokoh pendahulunya, dan alangkah buruknya tokoh pendahulu itu, yaitu kaum sufi.

Ibnul Jauzi dalam "Talbisu Iblis" (dalam Al-Muntaqa An-Nafis Min Tablis Iblis, ada komentar sebagai berikut : Betapa persisnya hari ini dan hari kemarin, ternyata banyak dikalangan aktifis hizbiyah dewasa ini yang melakukan tindakan yang lebih fatal dari tindakan ini (kaum sufi) -naudzubillah-sedangkan mereka mengira bahwa mereka telah melakukan suatu kebaikan). Telah meriwayatkan tentang perkataan Abu Abdillah bin Khafif sebagai berikut :

"Bersibuk dirilah kamu mempelajari ilmu dan jangan terperdaya oleh omongan orang-orang sufi. Sesungguhnya aku dulu pernah menyembunyikan tintaku di saku bajuku, dan pernah menyembunyikan kertas dilipatan celanaku. Dulu aku pernah secara sembunyi-sembunyi pergi menuju ahlul ilmi, tetapi jika mereka (kaum sufi -pen) memergokiku, mereka akan menentangku, seraya berkata : "Kamu tidak akan beruntung".

Kemudian berkembanglah belenggu semacam ini, hingga di zaman sekarang bentuk yang ditonjolkan dan dibuahkan oleh kelompok-kelompok hizbiyah menjadi beraneka ragam.

Diantara beberapa perkara yang paling berbahaya yang ditonjolkan oleh para penyeru hizbiyah ialah adanya istilah baru (seperti) : ULAMA HARAKAH, ULAMA AL-WAQI' (Ulama yang paham realitas), MUFAKKIR (pemikir), manusia haraki dan ... hingga mereka menghempaskan dan mengisolir umat ini dari para ulamanya yang hakiki yaitu ULAMA SYARI'AH.

Peristilahan ini mirip sekali dengan peristilahan kaum sufi, yaitu ada 'ALIM terhadap SYARI'AT dan ada 'ALIM TERHADAP HAKIKAT.

Kemiripan itu dilihat dari beberapa segi, diantaranya :

  • Pengisolasian manusia dari para ulama syari'ah (ulama hakiki -pen).
  • Klaim bahwa ada ilmu yang tidak bisa dicapai serta dipahami oleh para ulama syari'at.

Padahal, peristilahan baru tersebut hanyalah hasil rekaan para kaum haraki, perasaan-perasaan dan segala apa yang tercetus dari benak-benak mereka berupa teori-teori, gambaran-gambaran serta pandangan-pandangan tentang masa depan, yang menyebabkan akal pikiran para pengikutnya menjadi bingung, tanpa pernah bisa sampai memahaminya, hingga bagi mereka tidak ada jalan lain kecuali menerima.

Mereka (orang-orang hizbiyah) mengatakan : ada orang 'ALIM terhadap HARAKAH, dan ada orang 'ALIM terhadap SYARI'AH.

Maka para ulama harakah bangkit menerjuni medan amal Islami, tetapi dengan menjauhkan para ULAMA SYARI'AH, seperti Al-'Alamah Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhaddist Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i dan seluruh ulama syariah yang adil lainnya, dengan dalih bahwa para ulama tersebut tidak mengerti REALITAS, dan alasan-alasan lain berupa syubhat yang mereka tanamkan kepada benak para pemuda.

Itulah kejahatan besar, memisahkan da'wah dari para ulamanya yang hakiki, ulama pembawa Al-Kitab was Sunnah. Mereka lenyapkan keagungan ilmu dan keagungan ulama pembawa syari'at. Mereka letakkan lingkaran-lingkaran syetan di atas harakah, di atas aktifis harakah dan di atas barang-barang dagangan (ilmu-ilmu bawaan) mereka yang terbentuk dari susunan angan-angan, perasaan dan teori-teori mereka.

Oleh karena itu jika anda katakan kepada mereka (bahwa) Al-'Alamah Bin Baz berkata : ........., maka mereka akan menjawab : "Dia tidak tahu Realitas". Juga jika anda katakan (bahwa) As-Syaikh Al Muhaddist Nashiruddin Al-Albani berkata : ......., mereka pun akan menjawab : "Dia tidak tahu Politik".

Sampai akhirnya terjadi bahwa apa yang disebut ulama harakah dan aktifis harakah itulah yang dinamakan tokoh-tokoh da'wah dan penanggung jawab pelaksananya. Sedangkan para ulama syari'ah hanya berfungsi sebagai pengikut yang tidak perlu didengar (kata-katanya).

Anda hampir-hampir tidak akan menemukan satu kelompok hizbi pun melainkan ia pasti telah menetapkan satu manhaj haraki tersendiri baginya. Dan hampir tidak ada satu masalahpun baik itu masalah I'TIQADIYAH maupun masalah AMALIYAH, akan diputuskan sebelum masalah tersebut dinyatakan sejalan dengan "REALITAS HARAKI" yang dipaparkannya sesuai dengan alur pemikiran tentang masa depan. Akhirnya muncullah masalah-masalah tersebut ke permukaan dengan terpolesi hiasan angan-angan, sangkaan-sangkaan (zhan), dan gambaran-gambaran mereka belaka.

Selanjutnya seorang anggota hizbiyah yang telah mengental akan segera menyambutnya, kemudian melontarkannya dengan kekuatan dan tekanan ke dalam benak serta otak para pengikutnya. (Jadi mereka taqlid terahadap syaikh-syaikh mereka tanpa ber-itiba' kepada dalil atau yang semisalnya, maka mereka melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh syaikhnya...... Hal ini dikatakan oleh Ibnul Jauzi dalam Tablis Iblis hal : 495).

Celakalah orang yang sampai berani menuntut dalil atau memberikan kritik dengan ayat dan hadits, dalam upaya memulai hidup baru berdasarkan pemahaman salaf....., tak pelak ia di hadapan teman-temannya akan menjadi seperti seekor unta yang terserang borok.

Wahai Kaum Muslimin

Sungguh, kini manusia telah dipisahkan dari hubungan dengan ulama Al-Kitab was Sunnah, telah dipisahkan dari pergaulannya bersama dhahirnya syari'ah dengan cara-cara dan sarana-sarana bid'ah yang coraknya bermacam-macam sesuai dengan perubahan zaman.

Oleh karena itu hendaklah anda berpegang kepada para ULAMA SYARI'AH dan para pengkaji ILMU SYAR'I, yang menjadi pembela-pembela Al-Kitab was Sunnah dari segenap bid'ah dan noda. Hendaknya anda duduk dan mengitari mereka untuk mendengarkan perkataan mereka. Ingatlah akan firman Allah Ta'ala.

"Dan siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabb-Nya, kemudian dia berpaling daripadanya". (Al-Kahfi : 57).
(At-Thali'ah Fi Bara'ati Ahlis Sunnah Lil'utaibi, hal : 30, 32 dengan sedikit perubahan).

Demikianlah, bahwa hizbiyah mempunyai cara-cara dan sepak terjang bid'ah yang tidak pernah dilakukan para SALAF. Hal demikian teranggap sebagai penghambat ilmu dan sebab terbesar bagi terpecah belahnya jama'ah. Karena betapa banyaknya tali persatuan Islam telah menjadi berantakan, dan betapa banyaknya kaum muslimin menjadi lengah karenanya. (Hailah Tholibi Ilmi, No. 65 Li As-Syaikh Bakar Abu Zaid).

Semua itu merupakan salah satu penyakit TA'ASHUB (berfanatik golongan).

Bahwa sesungguhnya menelaah (mempelajari) bermacam-macam arah pandang (wijhatun nadhar), kemudian membanding-bandingkan satu dengan lainnya, akan memberikan kesiapan dan kemampuan kepada seseorang untuk instrospeksi, memberikan nasihat-nasihat, melakukan pembetulan dan pelurusan. (Dari Muqaddimah Umar Ubaid Hasanah dalam kitab Fiqhud Da'wah 1/8 Kitabul Ummah).

Namun hal-hal serupa ini justru telah hilang di kalangan para ahzab (golongan-golongan), orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi terserak di lembah-lembah dan di bukit-bukit.

Satu lagi bentuk belengu hizbiyah yang nampak nyata ialah : SIRRIYYAH (KERAHASIAAN)

Sesungguhnya telah menjadi jelas berdasarkan apa yang telah kami sebutkan bahwa ; Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang ITIBA' sedangkan Ahlul Bid'ah ialah orang-orang yang mengada-ngadakan sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada dan tanpa ada sandarannya.

Oleh sebab itulah mereka (ahlul bid'ah) merahasiakan bid'ah mereka. Sementara itu Ahlus Sunnah tidak pernah menyembunyikan madzhab mereka. Kalimat-kalimatnya jelas, madzhabnya masyhur, dan akibat baiknya terkembali kepada mereka. (Al-Muntaqa An-Nafis min Tablis Iblis, hal : 40).

Imam Ahmad di dalam "Az-Zuhdi" hal : 45. dan Ad-Darimi dalam "Sunannya" (1/19) telah meriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa beliau berkata : "Apabila kamu melihat ada sekelompok orang (kaum) saling berbisik-bisik tentang sesuatu mengenai agamanya, tanpa (melibatkan) orang umum, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka sedang membangun kesesatan".

Khabar di atas disebutkan pula oleh Ibnul Jauzi dalam Tablis Iblis. Kemudian dalam Al-muntaqa An Nafis (hal.89), saya memberikan komentar sebagai berikut. "Agama kita (segala puji bagi Allah) adalah jelas lagi nyata, tiada yang tersembunyi, tersimpan, dan terrahasiakan. Maka sesungguhnya apa yang dilakukan oleh kaum hizbiyun berupa hal demikian (sembunyi-sembunyi/berahasia-rahasian -pen), adalah satu pintu kesesatan, wal-iyadzubillah ta'ala.

Namun betapa mengherankannya ketika mereka berdalil tentang sirriyah (kerahasian) yang mereka klaim itu, dengan dalil-dalil Al-Qur'an atau As-Sunnah. Ternyata ketika diteliti dan diperhatikan, tidak ada sedikitpun di antara dalil-dalil itu yang bisa diterima.

Diantara dalil-dalil tersebut adalah :

  1. Menyembunyikannya Ibrahim 'alaihis salam, tentang penghancuran patung-patung sebagaimana tersebut dalam surat Al-Anbiya 62-63.
  2. Menyembunyikannya seorang mukmin dari kalangan keluarga Fir'aun akan keimanannya, seperti tersebut dalam surat Ghafir : 28-29.
  3. Dan kisah-kisah lain tentang orang-orang terdahulu yang termuat di dalam kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka juga berdalil tentang keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada periode Makkah, dengan segala sirriyah yang meliputi da'wahnya.

Begitu pula berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Jadikanlah kitman (bersembunyi) sebagai alat bantu untuk mensukseskan apa yang menjadi kebutuhanmu".

Sebagai jawaban atas istidlal-istidlal (argumentasi) di atas, ialah bahwa semua dalil-dalil ini selain dalil yang terakhir, terjadi sebagai berikut :

  • Manakala kaum muslimin dalam keadaan tertindas (mustadl'afin) dan dalam keadaan mereka takut jika men-jahar-kan (berterang-terangan) Islam. Di samping itu sesungguhnya "Sebagian besar keadaan bersembunyinya kaum muslim, tetap dalam keadaan tegak berpegang kepada perintah-perintah yang diterimanya dari wahyu". (As-Sirriyatu wa Atsaruha Fi Ada'i L-mahami 'L-askariyyah Lis Syaikh Muhammad Abu Rahim).
  • Atau manakala seorang da'i dalam keadaan tidak mampu mengatakan bahwa dirinya seorang muslim.

Adapun hadits yang terakhir (bila hadits itu bisa diterima keshahihannya, maka di dalamnya masih mengandung unsur pertentangan, jadi persoalannya masih perlu dikaji lebih lanjut), maka sebenarnya tidalah tepat kalau ditempatkan sehubungan dengan permasalahan ini, sebab didalamnya ada satu penggal hadits bagian akhir yang dihilangkan, dan itulah justru yang menjadi tujuan sirriyyah (yang dimaksud oleh penggalan hadits yang pertama) yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

"....Sesungguhnya setiap yang mendapatkan nikmat niscaya ada yang dengki padanya".

Penggalan terakhir ini memberi penjelasan tentang sisi sebenarnya yang di-istidlal-kan dengan hadits di atas, yaitu bahwa hadits tersebut dengan menyembunyikan (merahasiakan) ni'mat dan tidak menceritakannya, sebab dikhawatirkan akan dijahili oleh orang yang dengki, ini telah melahirkan sebuah jalan bagi terobek-robeknya umat dengan melalui dua sisi :

  1. Sisi dari pihak penguasa yang menyeleweng yang memiliki aturan-aturan sesat, yakni para oknum yang mengkhawatirkan kursi serta kedudukannya. Pihak ini dengan tangan besinya tentu akan membabat siapapun, bukan saja kepada orang-orang yang memastikan dirinya berkecimpung dan menerjuni dunia sirriyyah, tetapi juga kepada orang-orang yang pada sangkaan mereka punya unsur sirriyah.
  2. Bersama pihak kaum muslimin sendiri, akan terdapat jurang pemisah yang dalam di antara mereka, sebab mereka akan (saling) menyembunyikan apa-apa yang justru tidak boleh disembunyikan, mereka akan saling merahasiakan apa-apa yang sebenarnya tidak boleh dirahasiakan ..."

Akibatnya jiwa-jiwa manusia menjadi terdzalimi, dari hati-hati orang pun menjadi hitam pekat...

Kedua sisi perkara di atas, (mestinya) wajib dijauhi oleh para da'i sebab : 'Da'wah sudah di kumandangkan, prinsip-prinsipnya bertebaran terdapat di dalam kitab abadi yaitu : Al-Qur'an Al-karim, Sunnah Nabawiyah nan suci, dan di dalam kitab-kitab serta berjilid-jilid buku yang isinya sarat dengan ajaran Islam, kitab-kitab itu telah menjadi milik semua orang.

Berdasarkan ini, saya tidak melihat adanya alasan bagi harakah Islamiyah untuk meredam da'wah terang-terangan dengan anggapan bahwasanya masih dalam marhalah (tahapan) SIRRIYYAH periode pertama, bahkan justru mungkin untuk dikatakan : Bahwa sesungguhnya MARHALAH SIRRIYATUD DA'WAH (kerahasian da'wah) telah habis sama sekali, sampai suatu ketika Allah membinasakan bumi ini beserta seluruh apa yang ada di atasnya, sebab agama ini telah dikumandangkan dan telah sempurna, habislah sudah menyembunyikan agama ini. (Al-Manhaj Al-Haraki lis-sirah An-Nabawiyah (1/33) Li Al-Ghadban, bandingkan pula dengan kitab Atsarat wa Saqathah ....hal : 33 Li Zuhair Salim).

Bagi pengamat sejarah masa lalu, apalagi sejarah masa kini, tentu ia akan melihat bahwa kapan saja di situ ditemukan KETERTUTUPAN dan KERAHASIAAN, maka di sana pasti akan merajalela penyelewengan-penyelewengan syar'i.... Kapan saja ditemukan KETERSEMBUNYIAN dan KITMAN (tersimpan), maka disana pasti akan dikuasai rasa takut dan rasa aman pun akan lenyap.

Dinul Islam, dengan segala keluhuran, kesucian dan kejernihannya... berada diatas semuanya ini. Tak ada tempat di dalam Islam untuk menyembunyikan hakikat, menyembunyikan thariqah (cara) dan menyembunyikan maslak (jalan/manhaj).

Sesungguhnya da'wah menuju SIRRIYYAH tidak terbatas hanya untuk menghadapi musuh-musuh da'wah yang menyusup dibawah nama kemaslahatan memenuhi seluruh rongga-rongga da'wah. Untuk selanjutnya menjadi celah bagi terdahulukannya sikap-sikap loyal (terhadap masing-masing da'wah sirriyyah -pen) dan terjauhkannya dari rasa cukup untuk menyerahkan perwalian kepada kekuasaan AHLUL HALLI WAL 'AQDI (yakni para ulama dan tokoh-tokoh yang mewakili seluruh umat Islam untuk mengurusi persoalan mereka, termasuk urusan ba'iat -pen).

Dan adalah yang akan menjadi korban pertama bagi da'wah sirriyyah justru para pendukung amal Islami sendiri, bukan musuh-musuhnya.

Semestinya tidaklah boleh lepas dari benak kita apa yang bakal ada dalam da'wah sirriyah berupa tipu daya, penyelewengan fikrah dan penyimpangan aqidah.

Sebab da'wah semacam itu pasti akan menempuh perjalanan melalui lorong-lorong gelap, hingga tidak ada satu celah pun yang terbuka bagi upaya pembetulan, dialog dan evaluasi hail-hasilnya, (itu semua) hanya karena dalih : demi PEMELIHARAAN EKSITENSI, SIRRIYAH (kerahasiaan). (Setiap kerja (amal Islam) yang mencirikan watak rahasia serta berbau gerakan bawah tanah, apabila disangka bahwa hal itu hebat dan cerdik, dan bahwa musuh-musuhnya tidak bakal bisa melacak kegiatan tersebut dengan seluruh unsur-unsurnya, maka berarti ia berada dalam kelalaian. Sesungguhnya lorong-lorong kerahasiaan yang gelap merupakan lorong-lorong yang tepat guna menumbuhkan benih-benih yang aneh dan majhul. Dan tepat untuk kerja gelap di bawah tanah, Fi An-Naqd Adz-Dzati, hal : 41 oleh Khalis Jalby), dan security (Nadhrat Fi Masirah Al-Amal Al-Islami, dengan perubahan. hal : 38-39).

Marilah kita renungkan bersama sabda Nabi kita Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, semoga Allah memelihara anda :

"SUNGGUH TELAH AKU TINGGALKAN KAMU DI ATAS (HUJJAH) PUTIH BERSERI,
YANG MALAM HARINYA SEPERTI SIANG HARINYA;
TIDAK AKAN MENYELEWENG DARINYA KECUALI ORANG YANG BINASA"

(Hadits Hasan, telah saya takhrij dalam Arba'iy Ad-Da'wah wad Du'at, No 6 Nasyr Daar Ibnil Qayyim-Dammam)

Itulah dia sumber hujjah ....., dan di atasnyalah (tegak) hujjah.