Sabtu, 29 Juli 2017

ASESOR

KOMPETENSI ASESOR YANG HARUS DIMILIKI 1. Kompetensi Akademik 2. Kompetensi Sosial 3. Kompetensi Kepribadian 4. Komptensi TIK Dalam melaksanakan tugas visitasi, ditemukan banyak permasalahan dilapangan antara tuntutan instrument akreditasi dengan kondisi riil disekolah yang dirasa tidak adil dalam memberikan skor penilaian.Hal ini terjadi bagi sekolah swasta yang memiliki tatakelola yang mengacu pada UU yayasan.Pastinya berbeda bagi sekolah negeri.Misalnya masalah tata kelola keuangan. Sering terjadi dilapangan ada upaya mensulap keterbatasan sarana dengan sekedar ada saja untuk bisa mendapatkan poin walaupun jauh dari ketentuan standar nasional yang ditetapkan. Begitu juga mensulap standar proses dan standar isi dengan lebih banyak meminjam di sekolah lain untuk copy paste dengan sedikit mengganti identitas. Persoalannya bagi asesor, mereka tidak boleh mendebat keberadaannya dan tidak juga untuk melakukan investigasi tentang pembuktian keabsahan dokumen kecuali hanya memvisitasi. Ada upaya sekolah/madrasah untuk mengulur waktu visitasi dengan mengawali prosesi akreditasi melalui acara-acara penyambutan yang berlebihan.Dengan harapan waktu pelaksanaan visitasi menjadi singkat yang artinya tidak banyak waktu untuk mengkaji dan mendalami dokumen yang ditunjukkan. Keterbatasan asesor dalam penguasaan ICT, menjadi persoalan tersendiri untuk melakukan tugas pelaporan melalui on line.Hal ini berdampak pada terlambatnya pelaporan dan bisa juga kesalahan dalam menginput (human error). Disamping itu bagi asesor yang sudah memasuki masa pensiun jika tidak melakukan pengembangan diri, dirasakan kurangup date dalam tugas visitasi. Sehingga pemberian skor sering merugikan pihak sekolah. Pelanggaran kode etik dan rambu-rambu yang diberikan pada asesor, masih terjadi.Masalahnya adalah belum ada sangsi tegas yang dijatuhkan untuk memberi efek jera dan juga menjadi peringatan bagi asesor lainnya. Kode Etik menyatakan bahwa Asesor adalah insan terpilih yang terdidik, terlatih, dan terkondisikan untuk senantiasa: 1. Menjunjung tinggi kejujuran dan obyektifitas, baik dalam niat, ucapan, maupun perbuatan; 2. Merahasiakan informasi tentang sekolah/madrasah yang diakreditasi; 3. Bersikap dan bertindak adil yang berarti tidak membedakan antara sekolah atau madrasah, negeri atau swasta, jauh dan dekat, dan status awal akreditasi; 4. Menjaga kehormatan diri, rendah hati, dan lugas dalam berkata, bersikap, dan bertindak; 5. Mematuhi aturan yang berlaku bagi asesor, dan bersedia menerima konsekwensi atas pelanggaran yang dilakukan; 6. menciptakan suasana kondusif dan tidak menekan dalam melakukan kegiatan visitasi; 7. menghindari kesepakatan atau bargaining dalam arti negatif, dengan tidak menerima pemberian uang, barang, dan jasa di luar hak-nya sebagai asesor; 8. bersahabat dan membantu secara profesional; 9. menghormati budaya setempat; 10. membangun kerjasama tim asesor; 11. tidak menggurui responden; 12. tidak mendebat argumentasi yang disampaikan oleh responden; dan 13. tidak menanyakan atau meminta hal-hal di luar akreditasi. Larangan bagi asesor: 1. Melakukan intimidasi secara terang-terangan maupun tersirat kepada sekolah/ madrasah. Hal ini penting untuk mencegah sekolah/madrasah dari keinginan untuk memberikan sesuatu dalam bentuk apa pun yang diduga akan berpengaruh kepada objektivitas hasil visitasi. 2. Membuat perjanjian dan/atau kesepakatan sepihak atau bersama-sama dengan sekolah/madrasah yang divisitasi yang dapat mengakibatkan tidak objektifnya hasil visitasi. 3. Menerima apa pun dari sekolah/madrasah yang akan mempengaruhi hasil akreditasi. 4. Membuka kerahasiaan data dan informasi yang diperoleh, serta hasil pelaksanaan visitasi kepada sekolah/madrasah dan pihak lainnya dengan alasan apa pun Larangan bagi sekolah/madrasah: 1. Melakukan berbagai kegiatan yang dapat menghambat proses visitasi dengan alasan apa pun. 2. Memanipulasi data dan informasi serta memberikan keterangan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kondisi nyata sekolah/madrasah yang menyebabkan tidak objektifnya hasil akreditasi. 3. Memberikan sesuatu dalam bentuk apa pun kepada asesor maupun anggota BAP-S/M secara individual atau tim yang akan berdampak pada objektivitas hasil akreditasi.

Kamis, 16 Februari 2017

SKI KELAS 8

Hassan al-Mustadi Ibn Yusuf al-Mustanjid (1142 – 30 March 1180) (Arabic: المستضيء بأمر الله‎‎) was the Abbasid Caliph in Baghdad from 1170 to 1180. Like his predecessor, he continued to occupy a more or less independent position, with a vizier and courtly surroundings, and supported by only a small force sufficient for an occasional local campaign. During his reign, Saladin ended the Fatimid caliphate, became the Sultan of Egypt and declared his allegiance to the Abbasids. Sultan Alp Arslan (1063 - 1072) Dinasti Seljuk (Sultan Alslansyah) Pada tahun 1063, Tugril Beq wafat dan tidak memiliki keturunan laki-laki. Akhirnya keponakan tertuanya, Alp Arslan (1029 - 1072) naik tahta sebagai Sultan. Selama masa pemerintahannya, Alp Arslan berhasil mengatasi perlawanan dari saudara-saudaranya dan menyelesaikan konflik internal yang ada. Dalam memerintah, ia didampingi seorang perdana menteri bernama Nizham Al-Mulk. Nizham juga mendampingi putra Alp Arslan, Maliksyah, yang naik tahta kemudian sepeninggal Alp Arslan pada tahun 1072 dan memerintah 20 tahun berikutnya. Nama lengkap Al-Muhtadi (869-870 M) adalah Abu Ishaq Muhammad bin Al-Watsiq bin Al-Mu'tashim bin Harun Ar-Rasyid. Ia dilahirkan pada 219 H. Ada yang mengatakan 215 H. Dia dikenal dengan sebutan Abu Abdillah. Ia adalah putra Khalifah Al-Watsiq. Khalifah Al-Muhtadi termasuk khalifah yang sangat teguh memegang prinsip. Perilakunya baik, murah hati, dermawan, wara', gemar beribadah, dan zuhud terhadap kesenangan dunia. Joesoef Sou'yb dalam Sejarah Daulah Abbasiyah memaparkan ciri khalifah ini dengan kata-kata, "Ia bukan seorang militer akan tetapi seorang ulama yang menyerahkan hidupnya untuk kepentingan agama. Dan sikap hidupnya taat dan wara'." Setelah kejadian tersebut, Khalifah Al-Mu'taz segera mengangkat tangan Al-Muhtadi untuk membaiatnya sebagai khalifah, kemudian orang-orang pun mengikuti langkahnya untuk membaiat Al-Muhtadi. Setelah itu ia dibaiat secara khusus oleh Ahlul Halli wal Aqdi dan dibaiat secara massal di atas mimbar oleh rakyat. Khalifah Al-Muhtadi wafat pada Senin, 14 Rajab 257 H. Ia hanya memerintah setahun kurang lima hari. Ja'far bin Abdul Malik ikut menshalatkan dan menguburkannya dekat makam Al-Muntashir bin Al-Mutawakkil. Dinasti Ayubiyyah didirikan oleh Salahuddin Al-Ayubbi yang bersama Shirkuh menaklukan Mesir untuk Raja Zengiyyah Nuruddin dari Damaskus pada 1169. Nama ini berasal dari ayah Salahuddin, Najm ad-Din Ayyub. Pada tahun 1171, Salahuddin menggulingkan Khalifah Fatimiyyah terakhir. Ketika Nur ad-Din meninggal pada 1174, Ayyubiyyah atau Dinasti Ayyubiyyah (Sultan Shalahuddin al-Ayyubi) adalah dinasti Muslim dari bangsa Kurdi[2] yang menguasai Mesir, Suriah, Yaman (kecuali Pegunungan Utara), Diyar Bakr, Makkah, Hijaz dan Irak utara pada abad ke-12 dan 13. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169, Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir (konselor).Ayyubiyyah juga dikenali sebagai Ayyubid, Ayoubites, Ayyoubites, Ayoubides atau Ayyoubides. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud.

Rabu, 04 Januari 2017

HIZBIYYAH BUKAN HIZBULLAH

DEFINISI HIZBIYYAH Al-Hizbu secara bahasa adalah kelompok atau kumpulan manusia. (Al-Qomus Al-Muhith, Fairuz Abadi hal. 94). Dia berkata dalam Bashoir Dzawi Tamyiz 2/457: “Bashirotun fi Hizbi adalah kumpulan yang di dalamnya ada permusuhan”.Dan dikatakan bahwa Al-Hizbu adalah kelompok-kelompok yang berkumpul untuk memerangi para Nabi. Dan firman Allah Ta’ala: فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ “Maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. [al-Maidah/5:56] Sedangkan firman Allah Ta’ala: وَقَالَ الَّذِي آمَنَ يَا قَوْمِ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ يَوْمِ الْأَحْزَابِ “Dan orang-orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu”[al-Mukmin/40 :30] Al-Ahzab disini adalah kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang yang dihancurkan Allah setelah mereka [1]. Berkata Syaikh Ustadz Shofiyur Rohman Mubarokfuri : “Al-Hizbu secara bahasa adalah sekelompok manusia yang berkumpul karena kesamaan sifat, keuntungan atauikatan keyakinan dan iman. Karena kukufuran, kefasikan dan kemaksiatan. Terikatoleh daerah, tanah air, suku bangsa, bahasa, nasab, profesi atau perkara-perkara yang semisalnya, yang biasanya menyebabkan manusia berkumpul atau berkelompok”.[2] Sedangkan dalam Al-Qur’an, lafadz hizbi mengandung beberapa makna: 1. Bermakna kumpulan orang yang masing-masing berbeda mahzab, ajaran dan alirannya. كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. [ar-Ruum/30 : 32] 2. Bermakna laskar syaitan: أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ “Mereka itulah adalah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongansyaitan itulah golongan yang merugi” [al-Mujadilah/58 : 19] 3. Bermakna tentara Ar-Rohman: أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ “Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung” [al-Mujadilah/58 : 22] Tidak samar lagi bagi siapapun yang memiliki pengetahuan bahwa masing-masing hizbi memiliki dasar-dasar dan pemikiran atau aturan-aturan yang menjadi undang-undang bagi hizbi tersebut, sekalipun mereka tidak menamainya demikian. Dan undang-undang ini sama dengan azas yang menjadi sumber bagi aturan-aturan hizbi (kelompok) tersebut, dan dibangun diatasnya. Maka siapa saja yang mau mengakuinya dan menjadikannya sebagai dasar dalam beraktivitas, tergabunglah dia di dalam hizbi tersebut. Dia menjadi salah satu dari anggota-anggotanya,bahkan menjadi tokoh dari sekian tokoh-tokohnya. Sedang siapa saja yang tidak setuju, berarti bukan kelompok mereka. Jadi, undang-undang inilah yang menjadi dasar dalam wala’ (kasih sayang), bara’ (membenci/bermusuhan), dalam bersatu dan berpecah, memuji dan menghina…[3] Dari sini kita pahami bahwa di dunia ini hanya ada dua hizbi (kelompok) : Hizbullah dan Hizbu Syaithan ; orang-orang yang beruntung dan orang-orang yang merugi ; Muslimin dan Kafirin,….Maka barangsiapa yang memasukkan kelompok-kelompok yang bermacam-macam di dalam Hizbullah ini, berarti dia telah berandil besar dalam memecah belah Hizbullah ini, memecah kalimat mereka yang satu. FENOMENA HIZBIYYAH Merupakan kewajiban setiap muslim untuk mencabut system hizbiyyah yang sempit dan dibenci, yang melemahkan Hizbullah. Dan tidak perlu memberikan secuil cinta pun terhadapnya, agar agama ini seluruhnya hanya untuk Allah. Adapun sekedar lari dari lafadz hizbi kepada nama-nama lain yang dirasa pantas dan lebih enak didengar adalah menjerumuskan diri ke dalam kebodohan. Sebab lafadz hizbi pada hakekatnya –baik secara bahasa ataupun secara syar’i- tidaklah tercela. Namun pada prakteknya, di balik lafadz ini hanyalah perselisihan, ikatan-ikatan yang tidak jelas, perpecahan dan sebagainya. Oleh karena itu merubah nama dengan hakekat yang semacam itu adalah perbuatan yang tidak pantas serta menipu orang lain dan diri sendiri. Karena nama tidak dapat merubah hakekat. Seseorang yang berwajah buruk tidak bisa menjadi bagus dan tampan hanya dengan kita beri nama Jamil, Hasan, atau Mas Bagus. Ini suatu misal. Demikian juga hizbiyyah (kelompok-kelompok) yang penuh dengan penyimpangan dari jalan agama yang lurus ini, baik dalam masalah i’tiqod, manhaj, mu’amalah dan lain-lain. Atau mengkonsumsi hasil pikiran sesat dari orang-orang yang kurang puas terhadap Sunnah Rosul dan manhaj salafi, menjadikan adat-istiadat –yang jelas-jelas mengotori agama ini- sebagai dasar gerakannya, juga tidak memiliki nyali untuk ingkarul mungkar karena takut miskin dan celaan manusia, menjadikan kebodohan dan prasangka sebagai dalil dalam dakwah dan sejenisnya, sekalipun diberi label atau nama : “Jama’atul Muslimin”, “JamaahTabligh”, “Islam Jamaah”, “Darul Hadist”, “Ikhwanul Muslimin”, “Darul Islam”, “Harokah Sunniyah”, “Salamullah” atau nama-nama antik dan indah lainnya, tidak akan secuilpun merubah hakekat sebenarnya. Perhatikan Hadist berikut: جَابِرًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ غَزَوْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ ثَابَ مَعَهُ نَاسٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ حَتَّى كَثُرُوا وَكَانَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلٌ لَعَّابٌ فَكَسَعَ أَنْصَارِيًّا فَغَضِبَ الْأَنْصَارِيُّ غَضَبًا شَدِيدًا حَتَّى تَدَاعَوْا وَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ يَا لَلْأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِيُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا بَالُ دَعْوَى أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ ثُمَّ قَالَ مَا شَأْنُهُمْ فَأُخْبِرَ بِكَسْعَةِ الْمُهَاجِرِيِّ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهَا فَإِنَّهَا خَبِيثَةٌ Dari Jabir bin Abdullah dia berkata : Kami berperang bersama Nabi dan sekelompok kaum Muhajirin berkumpul bersama beliau. Di antara kaum Muhajirin ada seorang yang suka bercanda sehingga memukul pantat orang Anshor. Maka sangat marahlah sahabat Anshor tersebut. Sehingga masing-masing kubu saling berseru. Orang Anshor tersebut berkata: “Wahai orang-orang Anshor,….”.Orang Muhajirin berkata: “Wahai orang-orang Muhajirin,…”.Mendengar hal tersebut Nabi keluar seraya berkata: “Ada apa dengan seruan Jahiliyyah itu?” Kemudian bertanya: “Apa yang terjadi kepada mereka?” Kemudian beliau dikabarkan bahwasannya ada seorang Muhajirin memukul pantat seorang Anshor. Selanjutnya Nabi bersabda ; “Tinggalkanlah, karena itu sangat buruk”.[HR. Bukhori : 3518, 4905, 4907]. Dua nama “Muhajirin” dan “Anshor” merupakan dua nama syar’i yang disebut dalam Al-Qur’an dan Sunnah, bernasab dengan keduanya adalah baik, bukan sekedar nisbah seperti bernasab kepada suku dan daerah asal. Dan juga bukan suatu yang makruh atau bahkan harom seperti bernasab kepada hal-hal yang mengarah kepada bid’ah dan maksiat. Tapi nama syar’i yang baik ini tidak bisa membuat hakekat-hakekat yang buruk (hizbiyyah) menjadi baik. Bahkan karena hakekat ini Rasul mengingkarinya dengan menyatakan sebagai panggilan Jahiliyyah. Karena sekedar mendakwahkan nasab atau menyatakan adanya hubungan dengan sesuatu, semisal manhaj, atau nama-nama baik yang syar’i tidaklah cukup, bahkan bisa jadi bertepuk sebelah tangan jika hakekatnya tidak seperti namanya. Penyair arab berkata: “Setiap Orang mengaku punya hubungan dengan Laila, padahal Laila tidak mengakuinya”. Kalau demikian, perbedaan keyakinan atau perkara-perkara pokok yang lain tidak bisa dijadikan dalil untuk bolehnya berkelompok-kelompok sesuai dengan keyakinanmasing-masing. HIZBIYYAH PEMECAH BELAH UMAT Kita bisa saksikan masih banyak orang-orang yang kurang berfungsi atau memang sudah tidak berfungsi mata, telinga dan hatinya. Sehingga berceloteh dengan menyebarkan hadits yang tidak ada asalnya untuk melegitimasi keinginannya. Perselisihan umatku merupakan rahmat. Mereka buta, tuli serta tidak bisa memahami nash-nash yang shohih dan gamblang seperti firman Allah Ta’ala: وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا “Dan perpeganglah kamu semuanya kepada tali (Agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai” [ali-Imron/3 : 103] Dan firman Allah Ta’ala: وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ “Dan Janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” [ali-Imron/3 :105] Dan firmanNya: وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴿٣١﴾مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” [ar-Rum : 31-32] Dan firmanNya: شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kam wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya” [as-Syuro : 13] Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، “Karena orang yang hidup di antara kalian sesudahku nanti, dia akan menyaksikan perselisihan yang sangat banyak sekali. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’ Rosyidin setelahku. Gigitlah sunnahku dengan gigi geraham [HR. Abu Dawud dan Tirmidzi] Sabdanya pula: وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً؛ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ “Sesungguhnya agama ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di neraka, dan satu di surga. Dialah Al-Jama’ah” [Lihatlah Shohihul Jami’ : 638] Dan hadist-hadist lain yang semisal. Demikianlah…..hizbiyyah menjadi sangat identik dengan perpecahan. Ibarat dua sahabat karib yang memiliki hubungan yang kokoh. Dimana ada hizbiyyah, disitu pula terletak perpecahan. Di mana terjadi perpecahan, di sana pula ditegakkan prinsip-prinsip hizbiyyah. Hal ini tidak samar lagi bagi ahli ilmu dan tholabul ilmi. Perhatikan kembali hadist diatas (tentang Muhajirin dan Anshor). Disitu Rasulullah telah memerangi benih-benih perpecahan dan hizbiyyah ketika beliau melihat gelagat akan tumbuhnya sifat-sifat hizbiyyah yang sangat erat dengan perpecahan. Padahal seruan yang mereka nasabkan adalah seruan yang terpuji lagi baik, yaitu seruan yang bernasab kepada Muhajirin dan Anshor. Bukankah Allah telah memuji mereka, Muhajirin dan Anshor? Perhatikan firman Allah berikut: وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” [at-Taubah/9 : 100] Ketika nama-nama yang mulia ini dijadikan seruan-seruan untuk menganggap dirinya lebih baik dari yang lain atau memenangkan/menolong seseorang karena dia termasuk kelompoknya, Rasulullah mengingkarinya dan menyebutnya sebagai seruan jahiliyyah. Dan semakna pula dengan seruan jahiliyyah ini adalah seruan atau bernasab kepada suatu qabilah, ta’asub (fanatik) kepada seseorang, kepada suatu mahzab atau kelompok, kepada syaikh, ‘alim dan ulama’, mengunggulkan sebagian atas sebagian yang lain sekedar berdasarkan hawa nafsu dan fanatik buta. Lalu membangun wala’ (cinta) dan permusuhan di atas sifat dan sikap yang semacam itu tadi dan mengukur manusia ini di atas neraca tersebut, maka semua ini adalah seruan dan sitem jahiliyyah. Kesimpulannya bahwa perpecahan dan perselisihan serta bentuk hizbiyyah, apapun jenis dan dasarnya, tidaklah selaras dengan tabiat Islam sama sekali. Dan bentuk hizbiyyah ini pasti hanya mendatangkan mudhorot dan kejelakan yang jauhlebih banyak dan berbahaya daripada manfaat dan kebaikannya kalaulah ada manfaat dan kebaikannya bagi kaum Muslimin. Dan agama kita pun telah melarang perpecahan dan perselisihan ini secara mutlak dan menjadikannya sebagai sebab kelemahan dan kehinaan kaummuslimin. وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ “Janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu” [al-Anfal/8 : 46] Allah tidak membatasi larangan perselisihan ini, bahkan memutlakkannya agar mencakup segala macamnya. Bahkan Allah tidak hanya sekedar melarang saja, tapi Allah mewajibkan kaum muslimin untuk bersungguh-sungguh dalam meraih kebenaran ketika terjadi perselisihan. Firman-Nya: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ “Hai orang-orang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)”. [an-Nisa’/4 : 59] Jadi perpecahan dan hizbiyyah ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Kita harus benar-benar memahami dan mengambil sikap yang benar. Sekalipun hal ini dianggap kecil dan remeh oleh semantara orang yang memandang. [4] Mudah-mudahan Allah mengokohkan langkah dan hati di atas jalan sunnah. [Dilsain dari Buletin Al-Furqon Edisi 10 Tahun 1, Diterbitkan Lajnah Da’wah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim 61153] _______ Footnote [1]. Lihat Lisanul ‘Arob:I/308-309. [2]. Al-Ahzab As-Siyasiyyah fil Islam,hal.7. [3]. Lihat Al-Ahzab As-Siyasiyyah fil Islam, hal.13 [4]. Lihat kitab Ad-Da’wah ila Allah, Syaikh Ali Hasan, hal. 53-74 Sumber: https://almanhaj.or.id/81-hizbiyyah-bukan-hizbullah.html