Kamis, 16 Februari 2017

SKI KELAS 8

Hassan al-Mustadi Ibn Yusuf al-Mustanjid (1142 – 30 March 1180) (Arabic: المستضيء بأمر الله‎‎) was the Abbasid Caliph in Baghdad from 1170 to 1180. Like his predecessor, he continued to occupy a more or less independent position, with a vizier and courtly surroundings, and supported by only a small force sufficient for an occasional local campaign. During his reign, Saladin ended the Fatimid caliphate, became the Sultan of Egypt and declared his allegiance to the Abbasids. Sultan Alp Arslan (1063 - 1072) Dinasti Seljuk (Sultan Alslansyah) Pada tahun 1063, Tugril Beq wafat dan tidak memiliki keturunan laki-laki. Akhirnya keponakan tertuanya, Alp Arslan (1029 - 1072) naik tahta sebagai Sultan. Selama masa pemerintahannya, Alp Arslan berhasil mengatasi perlawanan dari saudara-saudaranya dan menyelesaikan konflik internal yang ada. Dalam memerintah, ia didampingi seorang perdana menteri bernama Nizham Al-Mulk. Nizham juga mendampingi putra Alp Arslan, Maliksyah, yang naik tahta kemudian sepeninggal Alp Arslan pada tahun 1072 dan memerintah 20 tahun berikutnya. Nama lengkap Al-Muhtadi (869-870 M) adalah Abu Ishaq Muhammad bin Al-Watsiq bin Al-Mu'tashim bin Harun Ar-Rasyid. Ia dilahirkan pada 219 H. Ada yang mengatakan 215 H. Dia dikenal dengan sebutan Abu Abdillah. Ia adalah putra Khalifah Al-Watsiq. Khalifah Al-Muhtadi termasuk khalifah yang sangat teguh memegang prinsip. Perilakunya baik, murah hati, dermawan, wara', gemar beribadah, dan zuhud terhadap kesenangan dunia. Joesoef Sou'yb dalam Sejarah Daulah Abbasiyah memaparkan ciri khalifah ini dengan kata-kata, "Ia bukan seorang militer akan tetapi seorang ulama yang menyerahkan hidupnya untuk kepentingan agama. Dan sikap hidupnya taat dan wara'." Setelah kejadian tersebut, Khalifah Al-Mu'taz segera mengangkat tangan Al-Muhtadi untuk membaiatnya sebagai khalifah, kemudian orang-orang pun mengikuti langkahnya untuk membaiat Al-Muhtadi. Setelah itu ia dibaiat secara khusus oleh Ahlul Halli wal Aqdi dan dibaiat secara massal di atas mimbar oleh rakyat. Khalifah Al-Muhtadi wafat pada Senin, 14 Rajab 257 H. Ia hanya memerintah setahun kurang lima hari. Ja'far bin Abdul Malik ikut menshalatkan dan menguburkannya dekat makam Al-Muntashir bin Al-Mutawakkil. Dinasti Ayubiyyah didirikan oleh Salahuddin Al-Ayubbi yang bersama Shirkuh menaklukan Mesir untuk Raja Zengiyyah Nuruddin dari Damaskus pada 1169. Nama ini berasal dari ayah Salahuddin, Najm ad-Din Ayyub. Pada tahun 1171, Salahuddin menggulingkan Khalifah Fatimiyyah terakhir. Ketika Nur ad-Din meninggal pada 1174, Ayyubiyyah atau Dinasti Ayyubiyyah (Sultan Shalahuddin al-Ayyubi) adalah dinasti Muslim dari bangsa Kurdi[2] yang menguasai Mesir, Suriah, Yaman (kecuali Pegunungan Utara), Diyar Bakr, Makkah, Hijaz dan Irak utara pada abad ke-12 dan 13. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, gubernur Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah itu, Shalahuddin melanjutkan pendidikannya di Damaskus untuk mempelajari teologi Sunni selama sepuluh tahun, dalam lingkungan istana Nuruddin. Pada tahun 1169, Shalahudin diangkat menjadi seorang wazir (konselor).Ayyubiyyah juga dikenali sebagai Ayyubid, Ayoubites, Ayyoubites, Ayoubides atau Ayyoubides. Ketika Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Raja Suriah Nuruddin Mahmud.